Kamis, 02 September 2010

Persma: Mesti Tegar untuk Tetap Bertahan

Seiring arus globalisasi , surat kabar menjadi kebutuhan akan informasi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Berita, laporan, artikel menjadi hidangan yang bisa disantap oleh para orang-orang yang membutuhkan perkembangan informasi. Tidak terkecuali pers mahasiswa (persma). Keberadaan persma sebagai surat kabar atau penerbitan kampus menjawab akan kondisi serta kejadian yang berkembang di tengah-tengah sivitas akademika kampus.Selain sebagai media informasi di kampus, persma juga memiliki peranan yang cukup strategis. Persma menjadi sebuah wadah bagi mahasiswa untuk lebih mengembangkan kemampuan dan kreatifitas, khususnya di bidang jurnalistik dan dunia tulis menulis. Sebuah tempat dalam mendidik kader-kader jurnalis. Alhasil, tidak sedikit jurnalis professional yang bekerja di media massa berasal dari persma. Di sisi lain, persma juga sebagai tempat bagi mahasiswa untuk melatih berpikir kritis, sistematis dan peduli terhadap lingkungan sekitar. Hal ini juga sesuai dengan peran mahasiswa sebagai agent of change, social control, dan iron stock.
Persma atau surat kabar kampus di sebuah perguruan tinggi bak sebuah kapal yang memiliki nakhoda sehingga memiliki arah dan tujuan yang jelas. Begitu juga sebaliknya bagi perguruan tinggi yang tidak memiliki surat kabar atau penerbitan kampus. Namun, kehadiran persma yang juga sebagai penyambung lidah mahasiswa masih dihadapkan dengan pelbagai kendala. Genta, Unit Kegiatan Pers Mahasiswa Universitas Andalas (Unand) Padang misalnya. Dana masih menjadi sebuah kendala. Hal ini juga yang menjadi penyebab Genta hanya mampu cetak lima edisi dalam setahun. “Iklan salah satu alternatif untuk pemasukan,” ujar Pemimpin Redaksi Genta periode 2010-2011, Nanda.
Mustahil untuk menjadi Koran kampus yang solid tanpa didukung dana yang cukup dan memadai. Ini juga menggambarkan kondisi yang dialami Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Pers Detak, surat kabar Universitas Syiah Kuala Aceh. Dana operasional yang berasal dari universitas dirasakan masih belum mencukupi untuk kegiatan penerbitan tabloid Detak. “Itu tidak menghambat Detak untuk tetap eksis,” ungkap Bagian Penelitian dan Pengembangan UKM Pers Detak, Ibnu. Berbagai usaha juga dilakukan seperti iklan untuk menambah biaya operasional.
Kurangnya ketertarikan mahasiswa untuk bergabung dengan organisasi yang bergerak di bidang jurnalistik ini juga menjadi kendala yang dirasakan UKM Pers Detak. Kru yang berjumlah 15 orang telah menunjukkan kurangnya minat mahasiswa untuk bergabung. “Karena kurangya jumlah kru, tak jarang tenaga alumni pun masih dibutuhkan,” tutup Ibnu. Hal ini juga menunjukkan semakin kurangnya minat mahasiswa dalam bidang tulis menulis.
Pers Kampus Aklamasi, Universitas Islam Riau juga mengakui hal yang sama. Di samping terkendala dana, kru (anggota Aklamasi) juga harus dihadapkan pada kesibukan kuliah. Di satu sisi kru harus memfokuskan dirinya dengan target cetak, di sisi lain juga dihadapkan dengan tugas perkuliahan. “Semangat kru kadang naik turun,” ujar Layouter Pers Kampus Aklamasi, Ryan.
Kurangnya komitmen kru tambahnya, juga menjadi kendala bagi persma. Banyak mahasiswa yang tidak punya komitmen yang kuat untuk ikut bergabung, sehingga terkesan hanya untuk coba-coba. Dengan kondisi yang seperti itu, kekompakan sangat dibutuhkan. “Ketika salah seorang kru mulai merasa jenuh dan bosan, kru yang lain harus memberikan semangat,” jelas Ryan. Ketegasan pun dibutuhkan. “Silahkan keluar kalau tidak ada lagi keinginan.”
Kemampuan dalam membagi waktu ketika bergabung dengan persma dan kuliah juga diakui Yassier Siregar, selaku designer grafis, persma Suara USU, Universitas Sumatera Utara. Ia mengaku susah untuk membagi waktu antara kegiatan kuliah dengan kegiatan di Suara USU. “Rapat harian dua minggu sekali yang harus dihadiri,” kata Yassier.
Ia juga menjelaskan kalau keikutsertaannya untuk bergabung dengan persma di karenakan menyalurkan hobi dalam design dan mengembangkan kemampuan dalam berorganisasi. “Belum kepikiran,” jawabnya ketika ditanya apakah kelak ingin menjadi wartawan.
Meski banyak kendala yang dihadapi persma di beberapa universitas, namun semangat dan daya juang untuk tetap memberikan informasi kepada civitas akademika tetap bertahan. Begitu juga halnya dengan Surat Kabar Kampus (SKK) Ganto Universitas Negeri Padang (UNP). SKK Ganto sebagai organisasi tingkat universitas masih tetap eksis dari tahun 1989. SKK Ganto terbilang salah satu koran kampus di Indonesia yang masih tetap menjaga keberadaannya sampai saat ini. Tidak hanya melalui penerbitan tabloid dan majalah edisi kru magang, keberadaan Ganto pun juga ditunjukkan dengan berbagai pelatihan jurnalistik tingkat dasar dan nasional. “Bulan Juli lalu kita mengundang redaktur harian Kompas, Yurnaldi, sebagai pembicara dalam workshop penulisan feature,” kata kepala penelitian dan pengembangan SKK Ganto, Sari Fitria, periode 2009-2010.
Sumber daya manusia juga menjadi tantangan yang kian harus diperhatikan oleh surat kabar kampus yang telah berusia 21 tahun ini. Kemampuan kru dalam menulis juga menjadi tantangan yang kian harus diperhatikan. “Kru Ganto sudah jarang menulis saat ini,” ujar Andika Destika Khagen, selaku dewan ahli SKK Ganto. Ia menilai, menulis adalah pondasi bagi sebuah persma. Ketika orang-orang yang berada di persma tidak menjadikan menulis sebuah kebiasaan, itu akan berpengaruh terhadap kualitas dan hasil penerbitannya.
Kemajuan teknologi mestinya dimanfaatkan secara positif dalam melatih kemampuan menulis khususnya persma, namun tidak dalam pandangan Joni Syaputra, mantan pemimpin redaksi SKK Ganto UNP. Ia menilai perkembangan teknologi seperti halnya facebook, yahoo messanger, dan jaringan sosial lainnya menjadikan mahasiswa (termasuk anggota persma) terbuai untuk melakukan obrolan atau chatting. Ketertarikan akan hal itu mengalahkan minat mahasiswa untuk menulis. “Di surat kabar kampus pun tidak banyak terlihat tulisan yang dikirim oleh mahasiswa,” ungkapnya.
Profesi wartawan tambahnya, semakin kurang diminati oleh mahasiswa. Hal itu disebabkan artikel atau pemberitaan di beberapa media daerah tidak lagi seimbang dan terkesan asal-asalan. Misalnya banyak terjadi kesalahan opini yang dikirimkan penulis, baik dalam ejaan maupun penulisan. “Seolah-olah tidak diedit lagi oleh redaktur,” katanya. Sehingga timbul pandangan negatif dari pembaca (baca: mahasiswa) tentang kualitas surat kabar daerah. “Pembaca bisa menyimpulkan sendiri seperti apa kualitasnya.”
Asmono Wikan dalam bukunya Masa Depan Pers Indonesia, tantangan Ekonomi Politik, dan Teknologi, secara empiris membuktikan kedigdayaan koran-koran daerah. Sebanyak 91,4% responden membaca koran daerah, sedangkan yang membaca koran nasional (baca:koran yang terbit dari Jakarta) adalah 8,6%. Pada kelompok responden remaja, membaca koran daerah sebanyak 91,2% dan hanya menyisakan 8,8% untuk surat kabar nasional. Begitu juga halnya dengan kellompok responden dewasa 8,6% membaca surat kabar nasional dan 91,4% membaca surat kabar daerah. Dari survey ini membuktikan bahwa koran daerah mesti dituntut untuk menyajikan yang terbaik dari setiap pemberitaannya.
Dalam buku ini, Aswono Wikan juga menuliskan bahwa citra pers Indonesia juga tengah dipertaruhkan oleh banyaknya praktik tidak bermoral dari para “wartawan”, yang sering mendatangi institusi-institusi swasta maupun pemerintah untuk meminta uang. Perilaku mereka ini bisa mencoreng citra positif pers, sehingga ada yang menyebutkan jika (praktik) kehidupan pers Indonesia telah kebablasan.
Terkadang independensi menjadi persoalan yang dipertanyakan di tubuh persma. Namun, menurut hemat penulis, meski pendanaan beberapa persma berasal dari universitas, itu tidak mengurangi sikap kekritisan persma dalam menyajikan berita dan laporan melalui surat kabar yang diterbitkannya. Hal yang sama juga diujarkan oleh Priondono, redaktur berita bayangan SKK Ganto. Ia mengatakan ketika awal masuk Ganto sudah diajarkan bagaimana membuat berita yang baik, seperti halnya esensi dari pembuatan berita yang benar. “Kalau memang berita itu patut kita muat kenapa tidak,” ujar Pri, panggilan akrabnya.
Ryan Fernandes, salah seorang mahasiswa Fakultas Teknik UNP mengaku senang ketika Ganto terbit. Ia tidak setuju kalau orang mengatakan Ganto hanya menyampaikan berita yang baik mengenai universitas saja. “Apapun yang terjadi di lapangan (dalam hal ini civitas akademika) Ganto berhak menyampaikan untuk diketahui pembaca,” terangnya.
Berbicara tentang idealnya sebuah persma, pakar jurnalistik dari Universitas Stanford, William L. Rivers, sebagaimana dikutip Assegaf (1985:104), mengemukakan karakteristik ideal sebuah persma yaitu harus mengikuti pendekatan jurnalistik yang serius, harus berisikan kejadian-kejadian yang bernilai berita bagi lembaga dan kehidupannya, harus menjadi wadah bagi penyaluran ekspresi mahasiswa, harus mampu menjadi pers yang diperlukan oleh komunitas kampusnya, tidak boleh menjadi alat klik atau permainan yang memuaskan kelompok kecil di kampus, serta harus dapat memenuhi fungsinya sebagai media komunikasi.
Lomba Pers Mahasiswa
Untuk lebih meningkatkan kualitas dan menjaga eksistensi persma khususnya dalam penerbitan surat kabar atau tabloid, mestinya masih ada sejenis lomba yang diadakan. Seperti halnya pada tahun 1990-1996, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Direktorat Kemahasiswaan pernah mengadakan perlombaan penerbitan kampus mahasiswa (Tabloid).
Namun sangat disayangkan saat ini tidak ada lagi lomba sejenis penerbitan atau surat kabar kampus. Padahal, menurut Qalbi Salim, kru Ganto, dengan adanya lomba seperti itu akan bisa melihat sejauh mana perkembangan persma di Indonesia. Keinginan untuk bersaing dalam peningakatan kualitas SDM antarpersma pun akan terlihat. “Sehingga persma benar-benar sebagai corong perjuangan dan mampu melahirkan jurnalis-jurnalis professional,” harapnya.

Senin, 02 Agustus 2010

Copy Paste : Refleksi Budaya Menerabas


Seiring kemajuan teknologi, banyak hal yang berkembang di tengah masyarakat. Tak terkecuali internet. Kehadiran jaringan komputer yang dibentuk oleh Departemen Pertahanan Amerika ini pada awalnya digunakan untuk keperluan militer, namun sekarang jaringan ini kian berkembang pesat. Selain sebagai media informasi dan komunikasi yang bisa diakses oleh siapapun, perkembangannya pun kian turut dirasakan dalam pembangunan komunitas Internet di dunia.
Kemudahan dalam pemanfaatan internet pun turut dirasakan oleh mahasiswa. Tugas ‘bejibun’ yang diberikan dosen menjadi tantangan di akhir semester. Tak jarang internet menjadi ‘teman curhat’ bagi mahasiswa dalam menyelesaikan tugas. Alhasil, warung internet (warnet) kian menjadi sasaran bagi mahasiswa sebagai tempat yang sering dikunjungi menjelang ujian. “Setiap hari hampir ratusan mahasiswa yang datang,” ungkap Doni, penjaga warnet Air Tawar Barat Padang.
Pemanfaatan internet oleh mahasiswa untuk mencari referensi terhadap tugas yang diberikan dosen tentu hal positif. Tugas yang diberikan dosen, karya ilmiah misalnya, tentu membutuhkan beberapa referensi baik dari internet, koran, atau buku. Dengan adanya referensi mestinya dijadikan sebagai materi pelengkap atau tambahan untuk memperkuat opini terhadap tugas yang dibuat mahasiswa. Lalu bagaimana dengan mahasiswa yang copy paste di internet?
Menurut hemat penulis, istilah copy paste digunakan ketika seseorang menyalin tulisan orang lain dengan tidak mengubah kalimat yang ada, dan kalimat itu digunakan untuk keperluan pribadi tanpa meminta izin terlebih dahulu. Perilaku ini menjadikan seseorang tidak menghargai hasil karya yang dilakukan orang lain. Istilah Copy Paste juga merupakan bagian dari plagiat. Dalam Oxford Dictionary juga dijelaskan bahwa plagiarisme merupakan suatu kegiatan menyalin karya orang lain dan mengakuinya sebagai karya sendiri.
Di kalangan mahasiswa, copy paste acapkali terjadi. Lebih-lebih ketika menjelang ujian akhir semester. “Seringkali internet menjadi sarana untuk copy paste,” kata Drs. Januarisdi, MLSI, dosen Jurusan Bahasa Inggris UNP. Tak ayal, keluhan mahasiswa pun muncul ketika dosen memberikan tugas akhir. Karena hampir setiap mata kuliah memiliki tugas akhir.
Ketika tugas yang diberikan dosen sudah menumpuk, jalan pintas untuk menyelesaikan semua tugas itu adalah melalui copy paste. “Daripada tidak ngumpul tugas sama sekali,” aku Hendra, salah seorang mahasiswa UNP. Jalan buntu yang kian tak disadari.
Tak hanya tugas akhir, pembuatan skripsi atau tesis pun juga diwarnai copy paste di kalangan mahasiswa. Banyak kasus yang dilakukan mahasiswa seputar copy paste. Mulai dari peminjaman skripsi yang rawan plagiat, hingga ada mahasiswa yang nekad untuk merobek halaman skripsi di perpustakaan (Sumber: Surat Kabar Kampus Ganto UNP Edisi No. 151).
Cara nekad mahasiswa turut mewarnai bahaya copy paste. Tak ayal, beberapa peristiwa halaman skripsi (disobek) mahasiswa menjadi korban keganasan copy paste. Halaman incaran itu adalah bab II dalam penyusunan skripsi. Tak mungkin mahasiswa yang tak sedang menyusun skripsi yang melakukan perbuatan itu.
Tak terkecuali, calon profesor pun turut menjadi pelaku copy paste. Pada awal tahun 2010, marak diberitakan oleh beberapa media massa tentang plagiat yang dilakukan oleh beberapa dosen calon professor di salah satu perguruan tinggi di Bandung. Bahkan ada seorang professor yang sudah lama ditengarai menjiplak karya orang Australia, tidak hanya satu kali melainkan sudah enam kali. Kasus yang serupa juga terjadi di kota pelajar Yogyakarta. Dua calon guru besar dari salah satu perguruan tinggi swasta menjiplak skripsi mahasiswa S-l guna melengkapi syarat mendapat gelar guru besar.
Bisa dibayangkan calon professor, dosen dengan pangkat tertinggi di perguruan tinggi atau mahaguru, melakukan perilaku yang bukan hasil dari pemikirannya sendiri. Entah apa yang akan terjadi dengan mahasiswa yang diajarkannya nanti. Tentu perilaku yang dilakukan oleh sang professor tersebut akan menambah deret angka buruknya perilaku kaum akademisi dan mengotori dunia pendidikan Indonesia.
Begitu juga halnya perilaku copy paste yang dilakukan oleh mahasiswa. Adanya perilaku ini lebih menjadikan mahasiswa bodoh dan enggan untuk berpikir. Ketika copy paste menjadi kebiasaan, maka itu akan sulit untuk diubah. Karena pada dasarnya, tugas yang diberikan dosen kepada mahasiswa akan menjadi gampang diselesaikan hanya karena copy paste.
Untuk menghilangkan perilaku yang kian menggrogoti mahasiswa ini, dosen pun mesti ikut berperan. Setiap tugas yang diberikan dosen kepada mahasiswa mesti harus dilakukan tindak lanjut (follow up) oleh dosen. Ketika dosen menemukan hasil karya mahasiswa yang melakukan copy paste, dosen mestinya harus memanggil ulang mahasiswa yang bersangkutan dan memberikan ganjaran kalau terbukti melakukannya.
Namun sebaliknya, ketika dosen hanya cuek dengan tugas yang dikerjakan mahasiswa, tak menutup kemungkinan ‘manfaat’ dari kemudahan copy paste akan merajalela di kalangan mahasiswa sebagai penerus kemajuan bangsa. Mengingat hal ini, mesti dilakukan evaluasi terhadap peningkatan kinerja dosen atau guru khususnya dalam proses penilaian pembelajaran.
Melihat kecenderungan beberapa mahasiswa yang melakukan copy paste, keinginan yang berasal dari individu mahasiswa untuk kuliah kian dipertanyakan. Kondisi seperti ini mencerminkan tidak adanya tujuan yang jelas bagi mahasiswa dalam melangkahkan kakinya di perguruan tinggi. Dengan kata lain, mahasiswa tidak memiliki tujuan untuk belajar.
Tak salah rasanya kalau kita bercermin ke negara maju, Amerika Serikat. Kemampuan akademik adalah faktor utama bagi siswa untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Tidak sebagian besar tamatan sekolah menengah atas bisa melanjutkan ke perguruan tinggi. Kemampuan siswa untuk melanjutkan perguruan tinggi memang teruji. Higher School Sertificate (HSS) menjadi program dua tahun yang dilaksanakan oleh Secondary Schools Examination Council untuk siswa yang dinyatakan berhak melanjutkan ke perguruan tinggi. HSS seperti halnya sebuah pembekalan terhadap calon mahasiswa. “Sehingga setiap calon mahasiswa mempunyai tujuan yang jelas untuk apa mereka kuliah,” jelas salah seorang pakar pendidikan UNP, Prof. Azmi. Melalui pembekalan ini tentunya kecil kemungkinan akan ditemui mahasiswa yang melakukan perbuatan tak bertanggungjawab, seperti halnya copy paste.
Perilaku copy paste tidak hanya melanda kaum akademisi, dunia musik pun turut diwarnai oleh perilaku tak bertanggung jawab ini. Pada Desember 2008, gitaris kenamaan, Joe Satriani melayangkan gugatan ke pengadilan untuk menghukum Coldplay yang menjiplak (bagian dari copy paste) lagunya. Joe sebelumnya bersikeras bahwa lagu Viva La Vida milik Coldplay sangat mirip dengan karyanya yang bertajuk If I Could Fly.
Di Indonesia sendiri, penyanyi Januar Arif yang dianggap menjiplak lagu Bleending Love milik Leona Lewis. Arif sendiri mengakui kalau ada kemiripan lagunya dengan lagu Leona Lewis dalam hal tempo dan ketukan. Serta masih banyak lagi kasus-kasus yang berupa hasil jiplakan atau copy paste yang terjadi.
Kalau mengacu pada Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2002, maka sudah selayaknya para musisi dituntut untuk lebih berhati-hati dalam menciptakan sebuah karya. Dalam acuannya, sebuah karya musik dianggap plagiat jika memiliki kesamaan atau kemiripan dengan lagu lainnya sebanyak delapan bar.
Sesuai dengan apa yang disampaikan di atas, Prof. Koentjaraningrat dalam bukunya ‘Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan’ menyebutkan lima sifat mentalitas yang tidak sesuai dengan pembangunan. Salah satunya sifat mentalitas yang suka menerabas. Menerabas di sini artinya mengabaikan proses dan dan mementingkan hasil yang merupakan risiko dan orientasi vertikal. Mentalitas menerabas akibat dari mental yang meremehkan mutu. Di mana mental ini hanya mengharapkan keunggulan hasil dan mengacuhkan kualitas proses. Itu artinya lebih memilih jalan yang paling mudah dalam melakukan sesuatu. Dengan kata lain ingin cepat sampai. Mental menerabas inilah sebagai karakter bangsa Indonesia saat ini.
Begitu juga halnya dengan perilaku copy paste, sebuah perilaku yang tak membutuhkan proses. Secara tak sadar, pelaku dari perilaku ini hanya mengandalkan usaha yang telah dilakukan oleh orang lain demi mencapai kepentingannya sendiri. Perilaku ini dilakukan hanya untuk mendapatkan hasil dengan mengabaikan proses yang semestinya diperoleh dari kemampuan diri sendiri. Seperti contoh: mahasiswa yang melakukan copy paste dalam mengerjakan tugas, penyanyi menciptakan lirik lagu dengan meng-copy paste karya orang lain.
Sulit kita membayangkan kalau bangsa Indonesia akan bersaing di tingkat global, kalau hanya dengan sebuah kepercayaan yang mengharapkan hasil orang lain untuk kebutuhan diri sendiri. Bagaimana mungkin kompetisi itu akan menghasilkan pemenang kalau orang-orangnya tidak percaya diri terhadap kemampuan dan hasil pikirannya sendiri.
Lagi-lagi tak salah kalau perilaku copy paste atau menjiplak karya tulis orang lain adalah sebuah gambaran akan keterpurukan dan ketidakberdayaan dalam menghargai kualitas proses, serta rasa tanggung jawab yang semakin luntur. Menjiplak karya tulis orang lain, keseluruhan atau sebagian adalah melanggar hukum, melanggar Undang-Undang Hak Cipta dan dapat dipidana 4 tahun penjara. Bersama mari katakan haram untuk copy paste, yang hanya sebuah refleksi budaya menerabas.

Minggu, 04 Juli 2010

Refleksi Birokrasi Negara Kita


Ketika mendengar kata birokrasi, seringkali diasumsikan sebagai sebuah makna negatif. Dengan kata lain, sebagai sebuah proses yang memakan jangka waktu yang lama, dan berbelit-belit. Makna birokrasi yang seringkali ditafsirkan itu muncul ketika banyak orang-orang merasakan seperti apa pelaksanaannya di lapangan.

Melihat kepada birokrasi pemerintahan Indonesia saat ini, Indonesia berada pada posisi ke-2 dengan birokrasi terburuk setelah India. Survey ini dirilis oleh Political and Economic Risk Consultancy (PERC), sebuah perusahaan konsultan yang mengkhususkan diri pada informasi bisnis strategis dan analisis untuk perusahaan-perusahaan yang melakukan bisnis di negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara, di awal tahun 2010.

Birokrasi yang diasumsikan ‘jelek’ dialami penulis ketika pengajuan proposal ke Pemda di salah satu kabupaten di Propinsi Jambi. Awalnya pengajuan proposal itu diajukan untuk pelaksanaan seminar nasional pendidikan.

Setelah proposal diterima di bagian umum, follow up nya sekitar tiga hari lagi untuk disetujui atau tidaknya oleh Bupati. “Tiga hari lagi ke sini,” ujar salah seorang staf. Tiga hari kemudian ditemui kembali staf bagian umum. Belum ada jawaban dari Pak Bupati. Hingga hari ke 60 pun tidak ada respon. Proses yang memakan waktu yang lama, berbelit-belit, dan birokrasi itulah yang terpikirkan waktu itu. Lantas, apa sebenarnya birokrasi?

Birokrasi sebagai sistem organisasi formal dimunculkan pertama kali oleh Max Weber pada tahun 1947. Birokrasi menurutnya tipe ideal bagi semua organisasi formal. Dalam kamus Akademi Perancis tahun 1798, birokrasi diartikan kekuasaan,pengaruh dan para kepala dan staf biro pemerintahan. Sedangkan menurut kamus bahasa Jerman edisi 1813, birokrasi didefinisikan sebagai wewenang atau kekuasaan dari berbagai departemen pemerintahan. Birokrasi sebagai suatu organisasi memiliki rantai komando dengan bentuk piramida, dimana lebih banyak orang berada ditingkat bawah dari pada tingkat atas.

Cita-cita utama dari sistem birokrasi adalah mencapai efisiensi kerja yang seoptimal mungkin. Organisasi birokrasi dapat digunakan sebagai pendekatan efektif untuk mengontrol pekerjaan manusia sehingga sampai pada sasarannya, karena organisasi birokrasi punya struktur yang jelas tentang kekuasaan dan orang yang punya kekuasaan mempunyai pengaruh sehingga dapat memberi perintah untuk mendistribusikan tugas kepada orang lain. Organisasi mengoperasikan prinsip-prinsip dasar hirarki kantor dimana ada garis-garis yang jelas dari atasan dan bawahan. Melalui sistem birokrasi akan melahirkan keefektifan dan keteraturan untuk sistem kerja yang jauh lebih baik.

Menyedihkan memang apa yang dialami dalam birokrasi pemerintahan Indonesia. Hasil survey itu menunjukkan bahwa birokrasi di Indonesia mengalami kemunduran kalau dibandingkan dengan tahun 1998. Ketika itu birokrasi takut dengan kerakyatan. Artinya tugas para pejabat melayani, bukan untuk dilayani.

Namun, birokrasi pemerintahan Indonesia sekarang ini terletak pada pelaksanaan peraturan yang dijalankan masyarakat. Di mana birokrasi itu melihat masyarakat dari kaca mata bagaimana masyarakat melaksanakan peraturan, sehingga terkesan adanya pemaksaan terhadap masyarakat dalam melaksanakan peraturan yang berlaku. Ketika masyarakat tidak bisa mematuhi peraturan tersebut, masyarakat dianggap musuh dari birokrasi. Padahal, birokrasi seharusnya bekerja untuk rakyat, karena hidupnya dari gaji yang diperoleh dari pajak yang dibayar rakyat. Bukan alat untuk menekan rakyat.
Mestinya birokrasi menekankan pada kesadaran masyarakat untuk melaksanakan peraturan. Pendekatan sistem sebagai salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk pendekatan kesadaran masyarakat dengan peraturan. Keterbukaan dan kejelasan sistem menjadikan masyarakat mudah untuk memahami dan menjalankan sistem yang berlaku. Sehingga birokrasi bukan menjadi alat untuk mempersulit masyarakat.

Sistem yang tidak baik juga terlihat ketika tidak adanya kontrol terhadap regulasi yang disahkan. Contohnya, ketika pengesahan UU No.23/2006, alur KTP yang semula melalui kecamatan diubah ke kelurahan dan langsung ke dinas kependudukan dan pencatatan sipil. Masalah yang dialami justru sebaliknya, budaya instan masyarakat menjadi masalah dalam pembuatan KTP. Al hasil, masyarakat lebih banyak menggunakan jasa calo karena alur pembuatan KTP yang dianggap terlalu sulit oleh masyarakat. Seyogianya, kontrol yang ketat dibutuhkan untuk membasmi calo-calo yang menjadikan masyarakat manja dan mengkonsumsi sifat instan.

Kultur pemimpin juga menjadi kompleksitas problema birokrasi di Indonesia. Sesuai dengan definisi birokrasi sebagai rantai komando dalam sebuah organisasi. Peran pemimpin dibutuhkan oleh orang-orang yang berada di tingkat bawah. Mestinya kultur pemimpin yang melayani bukan untuk dilayani, karena pegawai dari birokrasi diperoleh dari penunjukan atau ditunjuk dan bukan dipilih.

Harus berbesar hati ketika kita harus mengakui arah pelaksanaan reformasi birokrasi di Singapura yang cukup matang. Mekanisme konsultasi dan partisipasi publik dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan sudah berjalan baik. Artinya, masyarakat diikutsertakan dalam perencanaan kebijakan sehingga adanya transparansi dan akuntabilitas sistem. Kejelasan wewenang dan pendelegasian tugas pun jelas dalam sistem birokrasi.

Rabu, 03 Februari 2010

Ber’estimasi’ Berdasarkan Wahyu


Manusia memperoleh ilmu pengetahuan lain melalui suatu ilmu yang disebut ‘wahyu’. Wahyu itu disampaikan melalui perantaraan individu tertentu yang disebut ‘Nabi’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), wahyu merupakan petunjuk dari Allah yang diturunkan hanya kepada para nabi dan rasul melalui mimpi.

Wahyu tidak sejajar dengan ilmu pengetahuan manusia yang biasa tentang filsafat, pandangan hidup, hukum, moral, serta pengetahuan alam yang diperoleh manusia melalui kemampuan perasaan dan intelektual. Wahyu berupa suatu kesadaran dan pengetahuan khusus yang diterima oleh individu yang sempurna dan amat istimewa, yang menyadari benar-benar bahwa pengetahuan semacam itu diperoleh.

Adanya wahyu bisa dipelajari secara menyeluruh melalui kehidupan, perjuangan, jiwa dan ajaran-ajaran orang yang menyatakan dirinya menerima kenyataan itu. Sehingga orang-orang di sekitarnya bisa menilai apakah ia berbicara mengenai hal yang benar atau tidak.

Jika adanya kesadaran seseorang dalam pengetahuan wahyu dalam diri orang itu, akan lebih mudah untuk tumbuhnya cara mencari pengetahuan yang biasa yaitu perasaan pikiran atau intelek. Dengan cara inilah, untuk mengetahui realitas dan memahami realitas yang tidak diketahui, manusia dapat melihat tiga jalan: perasaan, pikiran atau intelek, dan wahyu. Pada saat itulah wahyu muncul sebagai sumber pengetahuan yang sangat dapat dipercaya.

Reaksi di lapangan belakangan ini –pascagempa 30 September- memunculkan sebuah asumsi bahwa untuk mengetahui dan memahami realitas yang tidak diketahui, pengetahuan yang berasal dari perasaan dan pikiran menjadi tolak ukur dalam memunculkan realitas yang belum tentu akan terjadi. Seakan-akan kemampuan perasaan dan pikiran menjadi hegemoni dalam mengalahkan sumber pengetahuan yang sangat dapat dipercaya - wahyu.

Reaksi itu menjadi jelas di hadapan khalayak ramai ketika ramalan hingga pengakuan tegas akan sebuah keyakinan perasaan dan pikiran dalam mempengaruhi masyarakat terhadap realitas yang tidak diketahui. Ketika muncul estimasi akan adanya goncangan gempa yang luar biasa pascagempa 30 September. Meski lempeng tektonik tetap aktif bergerak, gempa bumi tetap akan ada. Namun sampai abad ke-21, tak satupun ahli geologi yang mengetahui kapan akan terjadinya gempa dan berapa kekuatannya. Perkiraan yang ada hanya baru pemetaan wilayah terhadap daerah-daerah yang termasuk rawan bencana.

Di internet pun belakangan ini, banyak beredar tentang berita atau isu kiamat 2012 pada tanggal 21 Desember 2012. Ada yang mengatakan itu adalah prediksi suku Maya (Mayan prophecy) yang pernah hidup di selatan Meksiko atau Guatemala. Pada manuskrip peninggalan suku yang dikenal menguasai ilmu falak dan sistem penanggalan ini, disebutkan pada tanggal di atas akan muncul gelombang galaksi yang besar sehingga mengakibatkan terhentinya semua kegiatan di muka Bumi ini.

Tak ayal, ramalan tentang kiamat pun dipopulerkan oleh Roland Emmerich, sutradara beken Hollywood dalam film berjudul ’2012’. Sang sutradara menafsirkan ramalan bangsa Maya itu sebagai kiamat.

Seputar isu akan terjadinya kiamat 2012 yang tengah menyebar ke masyarakat, itu juga termasuk pengetahuan yang bersumber dari perasaan pikiran dan intelektual (imajinasi) manusia. Melihat kepada manuskrip peninggalan suku yang dikenal dalam menguasai ilmu falak dan sistem penanggalan itu belum diketahui jelas dasar perhitungannya.

Berdasarkan sumber di beberapa situs internet menjelaskan bahwa berakhirnya kalender Maya 21 Desember 2012 itu lebih disebabkan oleh berakhirnya siklus kalender, atau yang lebih dikenal dengan ‘kehabisan angka’. Sistem Kalender Maya berbasiskan pada bilangan 20 (bi-desimal). Dengan metode penulisan 0.0.0.0.0 dan kebiasaan suku Maya dengan siklus 13 dan 20, awal kalender Maya bertepatan ekivalen dengan 11 Agustus 3114 BCE, maka posisi 13.0.0.0.0 sebagai angka terbesar dalam kalender Maya akan ekivalen dengan 21 Desember 2012. Perhitungan kalender ini baru sebatas pemikiran pengetahuan.

Penafsiran terhadap al-quran tentang kiamat telah tertulis jauh sebelum manusia diciptakan. Semua itu diketahui manusia karena berasal dari wahyu yang tidak diragukan lagi kebenarannya. Wahyu yang disampaikan melalui perantaraan individu tertentu. Tidak sedikit diterangkan suasana dan kondisi yang menunjukkan kapan terjadinya kiamat.

Secara ilmiah, manusia terkadang menangkap tanda-tanda kiamat untuk diformulasikan sebagai pengetahuan empirik tentang kiamat. Manusia boleh saja mengeluarkan pendapat atau estimasi terhadap peristiwa kiamat. Tetapi, semua kebenarannya tetap berada pada Allah SWT.

Eksistensi Akhir KehidupanManusia
Pada dasarnya ada beberapa persoalan yang tidak dapat dijangkau oleh akal pikiran manusia. Namun sebaliknya, ajaran yang disampaikan melalui wahyu menerangkan lebih jauh sampai kepada persoalan-persoalan yang tidak dapat dijangkau oleh ilmu pengetahuan manusia. Menurut ilmu pengetahuan manusia, kematian dianggap sebagai fase akhir dari eksistensi manusia. Karena setelah mati, menurut ilmu pengetahuan, tidak ada lagi sifat-sifat kemanusiaan dan berakhir pula masa penelitian ilmu pengetahuan. Secara sosial pun manusia yang sudah mati tidak berharga lagi karena ia bukan lagi makhluk sosial dan terputus sudah hubungan dan interaksinya dengan manusia lain.

Menurut wahyu, manusia tidak mati sampai pada fase ini. Hanya keadaan tempat kehidupan yang berbeda. Itu di karenakan kepribadian manusia yang memiliki roh tidaklah punah. Wahyu hanya menegaskan bahwa kepribadian ini tetap ada sebagai inti utama esensi sifat kemanusiaan setelah mati. Eksistensi kehidupan manusia itu masih ada dan memiliki rentangan waktu yang berlanjut dan berujung kepada sebuah keabadian. Hal inilah yang tidak dapat dijangkau oleh ilmu pengetahuan alam manusia.
Pengetahuan yang datang melalui wahyu menjadi suatu pelengkap hasil yang diperoleh perasaan, pikiran dan pengalaman manusia. Antara wahyu dan pengetahuan manusia tidak saling bertentangan dan tidak menciptakan dualisme di antara masing-masing. Sehingga pengetahuan yang diperoleh melalui wahyu dan pengetahuan yang diperoleh oleh perasaan dan pikiran merupakan dua sayap yang membawa manusia menuju kehidupan yang jauh dari pikiran khayal. Pengetahuan akan wahyu akan membawa kebahagiaan hidup yang nyata dan menyeluruh dalam menjalani kehidupan dunia hingga menuju kehidupan yang hakiki.

Sabtu, 02 Januari 2010

Kesenian Magis dari Kota ‘Sakti’


Ia disebut kota Sakti. Sakti itu diartikan adalah sesuatu yang keramat dan mampu (kuasa) berbuat sesuatu yang melampaui kodrat alam. Pada dasarnya memang itulah makna yang tersirat dibalik kata Sakti. Di Kerinci, Sakti itu adalah sebuah singkatan dari Sejuk, Aman, Kenangan, Tertib dan Indah. Sehingga tak jarang kota ini disebut Kota Sakti di propinsi Jambi.

Dibalik ‘sakti’ itu sebuah singkatan, juga mengandung sederet makna dari ‘sakti’ itu sendiri. Itu terlihat dari kawasan Kerinci dikenal memiliki banyak kesenian magis. Unsur-unsur magis itu tertuang pada tradisi kesenian tari, seperti tari Nitik Naik Mahligai. Tari ini biasanya muncul satu tahun sekali, tepat pada saat Festival Masyarakat Peduli Danau Kerinci, festival yang rutin diadakan setiap tahun di Danau Kerinci, Jambi.

Tari Nitik Naik Mahligai biasanya dibawakan oleh 20 penari. Salah satu keunikan dari tarian sakral ini yaitu diperankan oleh penari wanita karena pada masa lalu yang memegang tampuk kekuasaan di Kerinci adalah perempuan. Kaum lelaki hanya menjalankan pemerintahan.

Atraksi tarian yang berasal dari Desa Siulak Siulak Mukai, salah satu desa yang terletak di Kecamatan Gunung Kerinci, Kerinci bagian utara, adalah berjalan di atas api dengan memakai pakaian adat daerah. Sambil kobaran api yang menyala, sembari asap yang mengepulkan bau harum kemenyan, penari harus berhasil memadamkan bara api dengan kedua tangannya.

Tiupan seruling panjang membuat suasana semakin terasa mistis. Dua pedang sepanjang setengah meter diletakkan di kanan kiri tungku. Hanya dalam hitungan menit, asap hitam membubung ke atas. Lengkingan penari pun akan terdengar kencang diiringi entakan musik. Suara musik itu terdengar dari gendang yang ditabuh terbuat dari kulit hewan, yang disebut rabano. Teriakan itu merupakan pertanda penari telah berhasil mengalahkan rintangan tersulit menuju takhta sesuai dengan nama tarian itu, Nitik Naik Mahligai (Jalan Menuju Takhta).

Atraksi yang juga tak ayal dilakukan yang menambah suasana magis dari tarian Nitik Naik Mahligai adalah membengkokkan dua bilah pedang di hadapan dupa menyala yang melambangkan gelora jiwa. Tak hanya itu, di sebuah desa di Koto Tengah ada tarian Marcok dengan penari berkaki telanjang yang menari di atas pecahan kaca dengan menusuk-nusukkan keris di tubuh. Ada juga secara bergantian, berjalan di atas pisau panjang yang tajam. Berjalan di atas mangkuk berisi telur panas tapi tidak boleh pecah, mematahkan tombak, serta berjalan di atas paku dan kayu yang ujungnya dibuat tajam. Sebelum tampil untuk atraksi tersulit, penari harus melakukan ritual mandi suci dengan buah balimau (jeruk purut) dan pandai membaca mantra.

Tiap atraksi mengandung arti. Berjalan di atas pedang, misalnya, melambangkan keseimbangan antara dunia dan akhirat. Rintangan paku melambangkan sang pemimpin harus mampu menghadapi masalah dengan tabah, misalnya bila terjadi konflik dalam negerinya. Kertas atau daun melambangkan kemakmuran bagi perekonomian rakyatnya. Pedang dan tombak artinya seorang pemimpin bila dalam keadaan terjepit harus mengambil sikap yang tegas. Sedangkan bara api adalah simbol kebatinan kepada Yang Maha Kuasa.

Tarian ini adalah warisan turun-temurun dari leluhur di Siulak Mukai, Kabupaten Kerinci. Awalnya tarian ini merupakan bagian dari prosesi calon raja yang akan memerintah pada masa lampau. Dia harus berhasil melalui rintangan sebelum naik takhta, itu artinya tidak mudah bagi seseorang untuk memperoleh takhta dan menjadi pemimpin. Sebelum dinobatkan, seorang calon raja harus menempuh berbagai rintangan.

Itulah sederatan kesenian magis yang berasal dari Kabupaten Kerinci yang tentunya masih banyak yang belum terkuak. Sehingga tak heran kalau sekiranya sebagian orang menyebutnya kota ‘Sakti’ dengan sekepal tanah surga yang tercampak ke bumi.

Jumat, 11 Desember 2009

Peningkatan Minat Baca


“Semakin tinggi minat baca seseorang, ia telah turut membuat peradaban menjadi lebih maju.”
Kalimat di atas tentunya harus menjadi motivasi bangsa Indonesia dalam meningkatkan minat baca masyarakatnya. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan minat baca masyarakat yang masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hasil survei yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berkompeten.

Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006 mempublikasikan, membaca bagi masyarakat Indonesia belum menjadikan kegiatan sebagai sumber untuk mendapatkan informasi. Masyarakat Indonesia lebih memilih menonton televisi (85,9%) dan mendengarkan radio (40,3%) ketimbang membaca (23,5%)1. Artinya, membaca untuk mendapatkan informasi baru dilakukan oleh 23,5% dari total penduduk Indonesia. Masyarakat lebih suka mendapatkan informasi dari televisi dan radio ketimbang membaca. Dengan data ini menunjukkan bahwa membaca belum menjadi prioritas utama masyarakat Indonesia .

Hasil survei mikro yang dilakukan oleh Sumatera Barat Intelectual Society (S.I.S) tentang minat baca siswa SLTP di kota Padang, menunjukkan bahwa dari 100 orang siswa, 70% diantara membaca. Mereka membaca hanya kurang 1 jam dalam sehari2. Survei ini semakin jelas menunjukkan bahwa masih rendahnya minat membaca di kalangan siswa di kota Padang. Membaca belum dijadikan sebagai sebuah tradisi untuk mendapatkan ilmu dan informasi.

Implikasi dari rendahnya minat baca masyarakat terlihat dari kualitas pendidikan. Kualitas pendidikan Indonesia belakangan ini jauh tertinggal dari negara-negara tetangga. Melihat dari survei Times Higher Education Supplement (THES) 2006, perguruan tinggi Indonesia baru bisa menjebol deretan 250 yang diwakili oleh Universitas Indonesia, kualitas ini berada di bawah prestasi Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) yang menempati urutan 185. Kemudian pada tahun 2007 menurut survei THES dari 3000 unversitas di dunia, ITB baru berhasil berada pada urutan 927 dan sekaligus menjadi perguruan tinggi top di Indonesia.

Rendahnya kualitas pendidikan Indonesia berarti menunjukkan pula rendahnya kemampuan sumber daya manusia. Itu terbukti dari minimnya bangsa Indonesia dalam melahirkan pelaku-pelaku ekonomi yang berdaya saing. Foreign Direct Investment (FDI) Indonesia berada diurutan 138 dari 140 negara. Indonesia hanya baru mempunyai 0,18% pengusaha dari jumlah penduduk sedangkan syarat untuk menjadi negara maju minimal 2% dari jumlah penduduk harus ada pengusaha. Coba kita bandingkan dengan negara tetangga. Singapura sekarang ini sudah mempunyai 5%, belum lagi Amerika Serikat 7% dari jumlah penduduk. Berdasarkan kondisi Indonesia sekarang ini maka Indonesia membutuhkan minimal 400 ribu pengusaha3. Data ini menunjukkan bahwa pendidikan yang berkualitas sangat berperan dalam melahirkan pengusaha. Usaha untuk meningkatkan pendidikan yang berkualitas berawal dari sumber daya manusia yang mempunyai ilmu dan mampu menyerap setiap informasi yang berkembang. Itu semua diperoleh melalui membaca.

Rendahnya kualitas sumber daya manusia, juga turut dalam memperpanjang angka kemiskinan di Indonesia. Menurut data BPS tahun 2007 di Indonesia orang miskin berjumlah 37,17 juta orang atau 16,58%. Namun, mengikuti standar yang ditetapkan oleh Bank Dunia, maka jumlah orang miskin di Indonesia hampir 50% dari jumlah penduduk. Tidak kalah pentingnya, rendahnya sumber daya manusia terlihat dari angka pengangguran yang berjumlah 10,854,254 (tahun 2006)4.

Tidak dapat dipungkiri pula, bahwa rendahnya minat baca di negara ini ikut memicu kekerasan dan anarkisme yang mementingkan kinerja otot daripada kinerja pikiran atau otak, karena otak yang tidak terasah cendrung melahirkan tindakan kurang pertimbangan dan dangkal analisis5.

Oleh sebab itu, meningkatnya kinerja penyelesaian masalah melalui kekerasan di Indonesia salah satu dipengaruhi oleh ketidakterasahan otak melalui membaca tersebut. Jepang sebagai negara maju, menyadari betul hal ini sehingga negara yang pernah hancur lebur dibom oleh Amerika dan sekutunya ini melakukan gerakan 20 Minutes Reading of Mother and Child, dimana seorang ibu harus mengajak anaknya membaca, minimal dua puluh menit sebelum si anak tidur. Lalu bagaimana dengan upaya peningkatan minat baca di Indonesia, khususnya di Sumbar?.

Motivasi Diri
Seiring kemajuan pesat dari media elektronik menjadikan masyarakat lebih memilih untuk menyaksikan acara yang disajikan dengan cara yang kreatif dan inovatif sehingga meminggirkan tradisi membaca. Membaca dalam hal ini harus dijadikan sebagai kebiasaan dan tradisi untuk mendapatkan ilmu dan informasi. Setiap orang mempunyai sikap ingin tahu. Ketika pemenuhan akan rasa ingin tahu seseorang terpenuhi, maka ia akan merasa puas dan senang. Begitu juga halnya dengan membaca. Dalam pemilihan bahan bacaan, bacaan yang sesuai dengan kebutuhan biasanya akan lebih menarik dan mendorong orang untuk membaca. Ketika membaca telah menjadi kebiasaan dan tradisi, maka seseorang akan melampiaskan keingintahuannya itu melalui buku-buku yang akan dibaca. Karena membaca berhubungan erat dengan aspirasi.

Poin pertama ini harus menjadi perhatian khususnya bagi orang tua dan guru. Dalam hal ini, penulis akan lebih memfokuskan kepada guru sebagai upaya dalam menjadikan kebutuhan atau tradisi siswa untuk membaca. Di samping lingkungan keluarga, lingkungan sekolah juga menjadi faktor kedua dalam membentuk kepribadian siswa. Dalam lingkungan sekolah, selain kegiatan belajar mengajar, guru juga seharusnya dituntut untuk memahami dan mengetahui lebih dalam kondisi psikologis siswa. Misalnya dengan memperhatikan perilaku, sikap, pikiran dan rasa ingin tahu siswa. Ketika siswa (siswa sekolah dasar dengan pertumbuhan usia seiring dengan rasa ingin tahu yang lebih besar) melakukan suatu hal dengan rasa ingin tahu yang besar, guru menjawab rasa ingin tahu siswa itu melalui buku. Apabila siswa menemukan jawaban atas pemenuhan rasa ingin tahunya melalui, maka akan tumbuhlah kebiasaan membaca dalam dirinya.

Kedua, bagi orang-orang yang memiliki pengetahuan dan informasi yang luas, semua itu akan terlihat dari gaya berbicara, mengajukan pendapat, maupun menulis. Orang yang rajin membaca selalu menggunakan referensi atau rujukan dari sumber yang dibaca. Dengan kata lain, membaca juga dikatakan alat penambah tenaga. Semakin banyak membaca maka akan menambah energi sehingga seseorang akan bergairah dalam melaksanakan apa yang ia pikirkan. Dengan modal membaca, seseorang akan memiliki banyak gagasan yang bisa dikerjakan dalam memunculkan sikap kreatif dan inovatif.
Poin terakhir adalah untuk mewujudkan kedua hal di atas adalah dengan menanamkan kemandirian melalui membaca. Orang yang banyak membaca selalu berdialog dengan apa yang dibaca dan menghubungkannya dengan realitas kehidupan sehari-hari. Hasil akhirnya adalah disiplin pribadi untuk membaca dan penerapan materi yang dibaca dalam kehidupan yang menghidupkan minat baca setiap orang.

Perpustakaan Profesional
Rendahnya minat baca masyarakat Indonesia salah satunya juga dipengaruhi oleh minimnya fasilitas-fasilitas pendukung, seperti jumlah perpustakaan yang tidak sesuai dengan rasio jumlah penduduk. Dilihat dari segi jumlah perpustakaan umum sebagai salah satu tempat mendapatkan bahan bacaan masyarakat sampai saat sekarang jumlahnya hanya 2.585 perpustakaan. Jika dirasional dengan jumlah penduduk Indonesia, maka satu perpustakaan umum harus sanggup melayani 85 ribu penduduk6.
Rendahnya minat baca dikalangan siswa tidak dapat dipungkiri pula akibat dari perpustakaan sekolah yang tidak mencukupi dan memadai. Hal ini terlihat dari 110 ribu sekolah yang ada di Indonesia teridentifikasi hanya 18% yang mempunyai perpustakaan16. Dari 200 ribu unit sekolah dasar di Indonesia cuma 20 ribu yang memiliki perpustakaan standar. Demikian pula dengan SLTP, dari 70 ribu unit SLTP, cuma 36% yang memenuhi standar. Untuk SMU, cuma 54 % yang punya perpustakaan berkualitas standar. Kemudian untuk perguruan tinggi, dari 4 ribu perguruan tinggi di Indonesia, cuma 60 % yang memenuhi standar. Sedangkan dari sekitar 1.000 instansi, diperkirakan baru 80% sampai 90% yang memiliki perpustakaan dengan kualitas standar1. Sedangkan Deputi Pengembangan Perpustakaan Nasional menyebutkan dari 3000 jumlah SD dan SLTP di Indonesia hanya baru 5 % yang memiliki perpustakaan.
Dari data tersebut, sekolah di Indonesia sangat sedikit sekali memfasilitasi perpustakaan sebagai sarana yang meyakinkan terhadap pentingnya ilmu pengetahuan. Perpustakaan belum dijadikan sebagai gudang ilmu yang sangat menunjang terhadap kemajuan dan peningkatan kualitas pendidikan, sehingga perpustakaan sekolah belum diperhatikan dan belum ditilik secara serius. Pengembangan perpustakaan masih berada dalam pembiayaan yang rendah, bahkan pihak sekolah tidak memaknai perpustakaan sebagai sarana yang penting untuk dikembangnkan ke arah yang lebih maju dan profesional.

Perpustakaan sekolah yang tidak terkelola dengan profesional telah memperpanjang keburaman dunia pendidikan di Indonesia. Oleh sebab itu potret buram dunia pendidikan di Indonesia tidak lagi dipengaruhi oleh rendahnya anggran pendidikan di samping kurang dan tidak meratanya guru di Indonesia tetapi dipengaruhi pula oleh terbatasnya jumlah sarana yang dapat membangun minat baca anak didik, bahkan dari data di atas terlihat adanya peminggiran atau pemarjinalan eksistensi perpustakaan sekolah dalam ruang lingkup institusi pendidikan. Perpustakaan sekolah masih dianggap sebagai komponen yang kurang bermakna dalam dunia pendidikan, sehingga perpustakaan sekolah tidak menjadi bagian yang terpenting dikembangkan di lingkungan pendidikan dasar dan menengah.

Giddens dalam The Third Way merekomendasikan, pendidikan yang berkualitas merupakan syarat mutlak untuk mencapai kemajuan di era global7. Untuk mencapai pendidikan yang berkualitas diperlukan perangkat dan pendukung pendidikan yang lengkap dan maju. Lebih jauh lagi kalau perlu dilakukan institutional revolution seperti yang disarankan oleh Illich8. Illich meyakinkan bahwa untuk memajukan sumber daya manusia, institusi pendidikan harus membangun profesionalitas. Pencapaian profesionalitas itu diperlukan peran serta banyak komponen dan kecerdasan orang yang mengelola institusi tersebut.
Perpustakaan sekolah sebagai salah satu piranti yang ikut mencerdasakan anak didik, tidak dapat diabaikan keberadaannya. Sudah saatnya perpustakaan sekolah dibangun dengan pengelolaan yang profesional dan tidak lagi dijadikan sebagai tumpukan buka paket, tetapi sudah saatnya dijadikan sebagai institusi modern yang disenangi untuk dikunjungi oleh anak didik. Pihak sekolah harus melihat perpustakaan dengan visi yang profesional dan modern.

Pihak sekolah sudah saatnya mempunyai strategi dalam pengembangan perpustakaan sekolah. Pengembangan perpustakaan sekolah tidak hanya terfokus pada anggaran yang dialokasikan pemerintah tetapi dapat dilakukan dengan program kerja sama dengan lingkungan sekitar, dalam hal ini masyarakat. Pihak sekolah harus merancang program dan strategi pembangunan perpustakaan menjaring keikutsertaan masyarakat. Penjaringan keikutsertaan masyarakat ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya menjalin kerjasama dengan membuat gerakan wakaf buku, kerjasama dengan alumni. Sehingga pihak massyarakat dilibatkan secara langsung dalam penambahan koleksi buku di sekolah.

Jika pihak sekolah masih terfokus pada anggaran biaya yang dialokasikan pemerintah dalam pengembangan perpustakaan sekolah, maka sekolah yang akan mempunyai perpustakaan yang representatif dimasa akan datang dapat dihitung dengan jari. Masalahnya, jika dilihat dari anggaran untuk pendidikan, negara ini mempunyai anggaran pendidikan yang rendah. Walaupun sudah dirancangn 20% daripada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), tetap saja rendah jika dibandingkan dengan anggaran pendidikan negara tetangga Malaysia, Thailand dan Myanmar. Di Malaysia anggaran pendidikan 25% dari APBN negara, Thailand 30 persen, dan Myanmar 18 persen9.
Sesungguhnya yang terjadi sekarang ini di perpustakaan sekolah adalah, koleksi buku yang tidak mencukupi. Perpustakaan sekolah hanya diisi oleh buku-buku paket, sehingga perpustakaan sekolah hanya sebagai gudang atau tempat penyimpangan buku paket tersebut. Akibatnya, perpustakaan sekolah tidak akrab dengan anak didik. Kondisi ini pula yang menyebabkan perpustakaan sekolah tidak mempunyai hubungan yang signifikan untuk peningkatan kualitas pendidikan.

Kondisi ini terjadi sebagai akibat, pihak sekolah tidak mempunyai inovasi dan strategisasi dalam pengembangan perpustakaan sekolah. Pihak sekolah telah terbiasa dengan kondisi perpustakaan sekolah sebagai gudang buku paket, sehingga membaca tidak menjadi tradisi dikalangan anak didik, akhirnya yang berlangsung secara terus menerus adalah sistem pembelajaran CBSA (catat buku sampai abis), sekalipun sistem pembelajaran saat ini adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah sebagai sarana untuk mengembangkan kreativitas sekolah dan sarana mengembangkan keunggulan lokal yang dapat mendorong terjadinya proses "globalisasi lokal" yang merupakan pengembangan dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Namun penerapannya masih jauh dari harapan. Hal ini berarti pihak sekolah belum mampu membangkitkan minat baca anak didik. Ketidakmampuan pihak sekolah dalam membangun minat baca ini berarti pihak sekolah membiarkan otak anak didik kelaparan. Di samping itu ikut memperpanjang catatan buram pendidikan sehingga bangsa ini sulit untuk bangkit
menghadapi tantangan global yang semakin kompleks.

Untuk membangun perpustakaan sekolah yang dapat memicu minat baca anak didik, koleksi buku perpustakaan harus di update dan ditambah secara terus menerus. Perpustakaan sekolah tidak hanya diisi dengan buku paket, tetapi juga diisi dengan bahan bacaan lain, baik fiksi maupun berupa non fiksi.

Bahan bacaan yang tersedia sangat mempengaruhi terhadap keberhasilan sebuah perpustakaan mewujudkan minat baca. Keragaman dan kelengkapan koleksi bahan bacaan, merupakan salah satu hal yang sangat mempengaruhi keberhasilan eksistensi perpustakaan sekolah sebagai pemacu minat baca, karena koleksi bacaan adalah daya tarik yang sangat pontensial bagi sebuah perpustakaan untuk menarik kunjungan, bahkan dapat memabangun tradisi membaca.

Sehubungan dengan kondisi perpsutakaan sekolah di Indonesia yang belum memadai dan masih mempunyai beragam problem, sehingga dengan kondisi yang dengan demikian perpsutakaan sekolah ini belum mampu meningkatkan minat baca dan kualitas pendidikan, maka dalam hal ini pihak sekolah, sudah semestinya melakukan pembaharuan pengembangan dan pengelolaan perpustakaan sekolah dengan membuat kerja sama dengan masyarakat, sehingga pengembangan perpustakaan sekolah berkelanjutan. Sehingga membaca bukan menjadi malapetaka lagi dalam membangun peradaban pada abad ke-21

Jumat, 20 November 2009

Mahasiswa dan Demokrasi Kapitalis


Pemuda secara umum didefinisikan sebagai mahasiswa atau kaum terpelajar yang memiliki potensi besar dalam proses perubahan. Mahasiswa adalah sosok yang suka berkreasi, idealis dan memiliki keberanian serta menjadi inspirator dengan gagasan dan tuntutannya. Namun, format kehidupan mahasiswa saat ini, sedikit banyak telah terpengaruh oleh sistem kehidupan yang berlaku sekarang, yaitu sistem demokrasi kapitalis.
Indonesia sebagai Negara demokrasi masih dianggap gagal karena terlalu prosedural dan pengaruh uang masih sangat kuat di dalam kultur politik. Sehingga berpolitik dianggap sebagai tempat untuk mencari uang.
Kalau memperhatikan apa yang terjadi di kampus-kampus di negeri ini, secara umum, paling tidak kita akan menemukan adanya beberapa kelompok mahasiswa muslim yang pemahaman dan kecenderungannya relatif berlainan. Citra dan cita-cita mereka juga relatif berbeda sesuai dengan landasan pemikiran yang mendasarinya.
Melihat perkembangan saat ini adalah mereka (mahasiswa) yang cuek terhadap kondisi kehidupan masyarakat. Yakni, mereka yang tidak peduli dengan penderitaan dan kesengsaraan masyarakat.
Memang sistem kapitalis yang menyetir pola kehidupan sekarang melahirkan penurunan nilai-nilai kemanusiaan. Sistem ini memang berhasil memberikan nilai materi yang cukup berlimpah. Namun, ternyata keberhasilan itu hanya diraup oleh segelinitr orang yang kuat, sementara mayoritas rakyat hidup dalam kesengsaraan. Lapangan pekerjaan semakin sempit, pengangguran kian membludak, dan berbagai tindak kriminal mulai menjadi wabah sosial kemanusiaan.
Kondisi seperti ini hanya akan melahirkan sistem individualis yang semakin tajam. Setiap manusia termasuk mahasiswa- lalu berpikir pintas untuk menyelamatkan diri, dan akhirnya tidak peduli dengan keadaan lingkungan. Standar perbuatan mereka adalah manfaat. Bagi mereka, yang penting bermanfaat dirinya dan tidak merugikan orang lain. Bagi mereka pacaran tidak menjadi masalah, asal tidak hamil dan tidak menimbulkan masalah. Kelompok ini memang benar-benar ingin menikmati dan hidup tenteram dalam kondisi sekarang. Mereka tidak peduli kenikmatan hidupnya itu diraih di atas penderitaan orang lain.
Bagi kelompok mahasiswa seperti ini keberhasilan studi merupakan cita-cita yang paling dijunjung tinggi dan senantiasa jadi haluan perjuangannya. Bagi mereka, standar keberhasilan itu adalah meraih nilai studi yang setinggi-tingginya. Sains memang cukup mereka kuasai, namun keilmuannya itu tidak berpengaruh terhadap perilaku mereka dalam kehidupan masyarakat. Dalam studinya, kelompok ini memang relatif banyak berhasil; namun mereka belum mampu memenuhi dambaan dan harapan umat.
Kehidupan mahasiswa kelompok ini hanya berkisar antara kampus dan rumah. Angan-angan mereka kalau sudah lulus kelak- adalah pekerjaan yang mantap dengan gaji yang besar, istri yang cantik, fasilitas yang mewah, dan anak-anak yang lucu dan manis. Tidak peduli dengan lingkungan! Yang penting aku, istriku, anak-anakku, dan keluargaku aman.
Demikianlah kondisi realita pemuda-mahasiswa yang terlahir dan hidup pada saat ini. Citra mereka telah terdegradasi oleh budaya-budaya asing yang membius dan meracuni harapan dan cita-cita mereka. Cinta mereka terwarnai kasih sayang semu, cinta produk manusia. Cinta yang lahir dari napsu demi kenikmatan sesaat. Cinta yang berakhir dalam kehampaan dan kegersangan.Afdal