Jumat, 11 Desember 2009
Peningkatan Minat Baca
“Semakin tinggi minat baca seseorang, ia telah turut membuat peradaban menjadi lebih maju.”
Kalimat di atas tentunya harus menjadi motivasi bangsa Indonesia dalam meningkatkan minat baca masyarakatnya. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan minat baca masyarakat yang masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hasil survei yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berkompeten.
Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006 mempublikasikan, membaca bagi masyarakat Indonesia belum menjadikan kegiatan sebagai sumber untuk mendapatkan informasi. Masyarakat Indonesia lebih memilih menonton televisi (85,9%) dan mendengarkan radio (40,3%) ketimbang membaca (23,5%)1. Artinya, membaca untuk mendapatkan informasi baru dilakukan oleh 23,5% dari total penduduk Indonesia. Masyarakat lebih suka mendapatkan informasi dari televisi dan radio ketimbang membaca. Dengan data ini menunjukkan bahwa membaca belum menjadi prioritas utama masyarakat Indonesia .
Hasil survei mikro yang dilakukan oleh Sumatera Barat Intelectual Society (S.I.S) tentang minat baca siswa SLTP di kota Padang, menunjukkan bahwa dari 100 orang siswa, 70% diantara membaca. Mereka membaca hanya kurang 1 jam dalam sehari2. Survei ini semakin jelas menunjukkan bahwa masih rendahnya minat membaca di kalangan siswa di kota Padang. Membaca belum dijadikan sebagai sebuah tradisi untuk mendapatkan ilmu dan informasi.
Implikasi dari rendahnya minat baca masyarakat terlihat dari kualitas pendidikan. Kualitas pendidikan Indonesia belakangan ini jauh tertinggal dari negara-negara tetangga. Melihat dari survei Times Higher Education Supplement (THES) 2006, perguruan tinggi Indonesia baru bisa menjebol deretan 250 yang diwakili oleh Universitas Indonesia, kualitas ini berada di bawah prestasi Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) yang menempati urutan 185. Kemudian pada tahun 2007 menurut survei THES dari 3000 unversitas di dunia, ITB baru berhasil berada pada urutan 927 dan sekaligus menjadi perguruan tinggi top di Indonesia.
Rendahnya kualitas pendidikan Indonesia berarti menunjukkan pula rendahnya kemampuan sumber daya manusia. Itu terbukti dari minimnya bangsa Indonesia dalam melahirkan pelaku-pelaku ekonomi yang berdaya saing. Foreign Direct Investment (FDI) Indonesia berada diurutan 138 dari 140 negara. Indonesia hanya baru mempunyai 0,18% pengusaha dari jumlah penduduk sedangkan syarat untuk menjadi negara maju minimal 2% dari jumlah penduduk harus ada pengusaha. Coba kita bandingkan dengan negara tetangga. Singapura sekarang ini sudah mempunyai 5%, belum lagi Amerika Serikat 7% dari jumlah penduduk. Berdasarkan kondisi Indonesia sekarang ini maka Indonesia membutuhkan minimal 400 ribu pengusaha3. Data ini menunjukkan bahwa pendidikan yang berkualitas sangat berperan dalam melahirkan pengusaha. Usaha untuk meningkatkan pendidikan yang berkualitas berawal dari sumber daya manusia yang mempunyai ilmu dan mampu menyerap setiap informasi yang berkembang. Itu semua diperoleh melalui membaca.
Rendahnya kualitas sumber daya manusia, juga turut dalam memperpanjang angka kemiskinan di Indonesia. Menurut data BPS tahun 2007 di Indonesia orang miskin berjumlah 37,17 juta orang atau 16,58%. Namun, mengikuti standar yang ditetapkan oleh Bank Dunia, maka jumlah orang miskin di Indonesia hampir 50% dari jumlah penduduk. Tidak kalah pentingnya, rendahnya sumber daya manusia terlihat dari angka pengangguran yang berjumlah 10,854,254 (tahun 2006)4.
Tidak dapat dipungkiri pula, bahwa rendahnya minat baca di negara ini ikut memicu kekerasan dan anarkisme yang mementingkan kinerja otot daripada kinerja pikiran atau otak, karena otak yang tidak terasah cendrung melahirkan tindakan kurang pertimbangan dan dangkal analisis5.
Oleh sebab itu, meningkatnya kinerja penyelesaian masalah melalui kekerasan di Indonesia salah satu dipengaruhi oleh ketidakterasahan otak melalui membaca tersebut. Jepang sebagai negara maju, menyadari betul hal ini sehingga negara yang pernah hancur lebur dibom oleh Amerika dan sekutunya ini melakukan gerakan 20 Minutes Reading of Mother and Child, dimana seorang ibu harus mengajak anaknya membaca, minimal dua puluh menit sebelum si anak tidur. Lalu bagaimana dengan upaya peningkatan minat baca di Indonesia, khususnya di Sumbar?.
Motivasi Diri
Seiring kemajuan pesat dari media elektronik menjadikan masyarakat lebih memilih untuk menyaksikan acara yang disajikan dengan cara yang kreatif dan inovatif sehingga meminggirkan tradisi membaca. Membaca dalam hal ini harus dijadikan sebagai kebiasaan dan tradisi untuk mendapatkan ilmu dan informasi. Setiap orang mempunyai sikap ingin tahu. Ketika pemenuhan akan rasa ingin tahu seseorang terpenuhi, maka ia akan merasa puas dan senang. Begitu juga halnya dengan membaca. Dalam pemilihan bahan bacaan, bacaan yang sesuai dengan kebutuhan biasanya akan lebih menarik dan mendorong orang untuk membaca. Ketika membaca telah menjadi kebiasaan dan tradisi, maka seseorang akan melampiaskan keingintahuannya itu melalui buku-buku yang akan dibaca. Karena membaca berhubungan erat dengan aspirasi.
Poin pertama ini harus menjadi perhatian khususnya bagi orang tua dan guru. Dalam hal ini, penulis akan lebih memfokuskan kepada guru sebagai upaya dalam menjadikan kebutuhan atau tradisi siswa untuk membaca. Di samping lingkungan keluarga, lingkungan sekolah juga menjadi faktor kedua dalam membentuk kepribadian siswa. Dalam lingkungan sekolah, selain kegiatan belajar mengajar, guru juga seharusnya dituntut untuk memahami dan mengetahui lebih dalam kondisi psikologis siswa. Misalnya dengan memperhatikan perilaku, sikap, pikiran dan rasa ingin tahu siswa. Ketika siswa (siswa sekolah dasar dengan pertumbuhan usia seiring dengan rasa ingin tahu yang lebih besar) melakukan suatu hal dengan rasa ingin tahu yang besar, guru menjawab rasa ingin tahu siswa itu melalui buku. Apabila siswa menemukan jawaban atas pemenuhan rasa ingin tahunya melalui, maka akan tumbuhlah kebiasaan membaca dalam dirinya.
Kedua, bagi orang-orang yang memiliki pengetahuan dan informasi yang luas, semua itu akan terlihat dari gaya berbicara, mengajukan pendapat, maupun menulis. Orang yang rajin membaca selalu menggunakan referensi atau rujukan dari sumber yang dibaca. Dengan kata lain, membaca juga dikatakan alat penambah tenaga. Semakin banyak membaca maka akan menambah energi sehingga seseorang akan bergairah dalam melaksanakan apa yang ia pikirkan. Dengan modal membaca, seseorang akan memiliki banyak gagasan yang bisa dikerjakan dalam memunculkan sikap kreatif dan inovatif.
Poin terakhir adalah untuk mewujudkan kedua hal di atas adalah dengan menanamkan kemandirian melalui membaca. Orang yang banyak membaca selalu berdialog dengan apa yang dibaca dan menghubungkannya dengan realitas kehidupan sehari-hari. Hasil akhirnya adalah disiplin pribadi untuk membaca dan penerapan materi yang dibaca dalam kehidupan yang menghidupkan minat baca setiap orang.
Perpustakaan Profesional
Rendahnya minat baca masyarakat Indonesia salah satunya juga dipengaruhi oleh minimnya fasilitas-fasilitas pendukung, seperti jumlah perpustakaan yang tidak sesuai dengan rasio jumlah penduduk. Dilihat dari segi jumlah perpustakaan umum sebagai salah satu tempat mendapatkan bahan bacaan masyarakat sampai saat sekarang jumlahnya hanya 2.585 perpustakaan. Jika dirasional dengan jumlah penduduk Indonesia, maka satu perpustakaan umum harus sanggup melayani 85 ribu penduduk6.
Rendahnya minat baca dikalangan siswa tidak dapat dipungkiri pula akibat dari perpustakaan sekolah yang tidak mencukupi dan memadai. Hal ini terlihat dari 110 ribu sekolah yang ada di Indonesia teridentifikasi hanya 18% yang mempunyai perpustakaan16. Dari 200 ribu unit sekolah dasar di Indonesia cuma 20 ribu yang memiliki perpustakaan standar. Demikian pula dengan SLTP, dari 70 ribu unit SLTP, cuma 36% yang memenuhi standar. Untuk SMU, cuma 54 % yang punya perpustakaan berkualitas standar. Kemudian untuk perguruan tinggi, dari 4 ribu perguruan tinggi di Indonesia, cuma 60 % yang memenuhi standar. Sedangkan dari sekitar 1.000 instansi, diperkirakan baru 80% sampai 90% yang memiliki perpustakaan dengan kualitas standar1. Sedangkan Deputi Pengembangan Perpustakaan Nasional menyebutkan dari 3000 jumlah SD dan SLTP di Indonesia hanya baru 5 % yang memiliki perpustakaan.
Dari data tersebut, sekolah di Indonesia sangat sedikit sekali memfasilitasi perpustakaan sebagai sarana yang meyakinkan terhadap pentingnya ilmu pengetahuan. Perpustakaan belum dijadikan sebagai gudang ilmu yang sangat menunjang terhadap kemajuan dan peningkatan kualitas pendidikan, sehingga perpustakaan sekolah belum diperhatikan dan belum ditilik secara serius. Pengembangan perpustakaan masih berada dalam pembiayaan yang rendah, bahkan pihak sekolah tidak memaknai perpustakaan sebagai sarana yang penting untuk dikembangnkan ke arah yang lebih maju dan profesional.
Perpustakaan sekolah yang tidak terkelola dengan profesional telah memperpanjang keburaman dunia pendidikan di Indonesia. Oleh sebab itu potret buram dunia pendidikan di Indonesia tidak lagi dipengaruhi oleh rendahnya anggran pendidikan di samping kurang dan tidak meratanya guru di Indonesia tetapi dipengaruhi pula oleh terbatasnya jumlah sarana yang dapat membangun minat baca anak didik, bahkan dari data di atas terlihat adanya peminggiran atau pemarjinalan eksistensi perpustakaan sekolah dalam ruang lingkup institusi pendidikan. Perpustakaan sekolah masih dianggap sebagai komponen yang kurang bermakna dalam dunia pendidikan, sehingga perpustakaan sekolah tidak menjadi bagian yang terpenting dikembangkan di lingkungan pendidikan dasar dan menengah.
Giddens dalam The Third Way merekomendasikan, pendidikan yang berkualitas merupakan syarat mutlak untuk mencapai kemajuan di era global7. Untuk mencapai pendidikan yang berkualitas diperlukan perangkat dan pendukung pendidikan yang lengkap dan maju. Lebih jauh lagi kalau perlu dilakukan institutional revolution seperti yang disarankan oleh Illich8. Illich meyakinkan bahwa untuk memajukan sumber daya manusia, institusi pendidikan harus membangun profesionalitas. Pencapaian profesionalitas itu diperlukan peran serta banyak komponen dan kecerdasan orang yang mengelola institusi tersebut.
Perpustakaan sekolah sebagai salah satu piranti yang ikut mencerdasakan anak didik, tidak dapat diabaikan keberadaannya. Sudah saatnya perpustakaan sekolah dibangun dengan pengelolaan yang profesional dan tidak lagi dijadikan sebagai tumpukan buka paket, tetapi sudah saatnya dijadikan sebagai institusi modern yang disenangi untuk dikunjungi oleh anak didik. Pihak sekolah harus melihat perpustakaan dengan visi yang profesional dan modern.
Pihak sekolah sudah saatnya mempunyai strategi dalam pengembangan perpustakaan sekolah. Pengembangan perpustakaan sekolah tidak hanya terfokus pada anggaran yang dialokasikan pemerintah tetapi dapat dilakukan dengan program kerja sama dengan lingkungan sekitar, dalam hal ini masyarakat. Pihak sekolah harus merancang program dan strategi pembangunan perpustakaan menjaring keikutsertaan masyarakat. Penjaringan keikutsertaan masyarakat ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya menjalin kerjasama dengan membuat gerakan wakaf buku, kerjasama dengan alumni. Sehingga pihak massyarakat dilibatkan secara langsung dalam penambahan koleksi buku di sekolah.
Jika pihak sekolah masih terfokus pada anggaran biaya yang dialokasikan pemerintah dalam pengembangan perpustakaan sekolah, maka sekolah yang akan mempunyai perpustakaan yang representatif dimasa akan datang dapat dihitung dengan jari. Masalahnya, jika dilihat dari anggaran untuk pendidikan, negara ini mempunyai anggaran pendidikan yang rendah. Walaupun sudah dirancangn 20% daripada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), tetap saja rendah jika dibandingkan dengan anggaran pendidikan negara tetangga Malaysia, Thailand dan Myanmar. Di Malaysia anggaran pendidikan 25% dari APBN negara, Thailand 30 persen, dan Myanmar 18 persen9.
Sesungguhnya yang terjadi sekarang ini di perpustakaan sekolah adalah, koleksi buku yang tidak mencukupi. Perpustakaan sekolah hanya diisi oleh buku-buku paket, sehingga perpustakaan sekolah hanya sebagai gudang atau tempat penyimpangan buku paket tersebut. Akibatnya, perpustakaan sekolah tidak akrab dengan anak didik. Kondisi ini pula yang menyebabkan perpustakaan sekolah tidak mempunyai hubungan yang signifikan untuk peningkatan kualitas pendidikan.
Kondisi ini terjadi sebagai akibat, pihak sekolah tidak mempunyai inovasi dan strategisasi dalam pengembangan perpustakaan sekolah. Pihak sekolah telah terbiasa dengan kondisi perpustakaan sekolah sebagai gudang buku paket, sehingga membaca tidak menjadi tradisi dikalangan anak didik, akhirnya yang berlangsung secara terus menerus adalah sistem pembelajaran CBSA (catat buku sampai abis), sekalipun sistem pembelajaran saat ini adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah sebagai sarana untuk mengembangkan kreativitas sekolah dan sarana mengembangkan keunggulan lokal yang dapat mendorong terjadinya proses "globalisasi lokal" yang merupakan pengembangan dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Namun penerapannya masih jauh dari harapan. Hal ini berarti pihak sekolah belum mampu membangkitkan minat baca anak didik. Ketidakmampuan pihak sekolah dalam membangun minat baca ini berarti pihak sekolah membiarkan otak anak didik kelaparan. Di samping itu ikut memperpanjang catatan buram pendidikan sehingga bangsa ini sulit untuk bangkit
menghadapi tantangan global yang semakin kompleks.
Untuk membangun perpustakaan sekolah yang dapat memicu minat baca anak didik, koleksi buku perpustakaan harus di update dan ditambah secara terus menerus. Perpustakaan sekolah tidak hanya diisi dengan buku paket, tetapi juga diisi dengan bahan bacaan lain, baik fiksi maupun berupa non fiksi.
Bahan bacaan yang tersedia sangat mempengaruhi terhadap keberhasilan sebuah perpustakaan mewujudkan minat baca. Keragaman dan kelengkapan koleksi bahan bacaan, merupakan salah satu hal yang sangat mempengaruhi keberhasilan eksistensi perpustakaan sekolah sebagai pemacu minat baca, karena koleksi bacaan adalah daya tarik yang sangat pontensial bagi sebuah perpustakaan untuk menarik kunjungan, bahkan dapat memabangun tradisi membaca.
Sehubungan dengan kondisi perpsutakaan sekolah di Indonesia yang belum memadai dan masih mempunyai beragam problem, sehingga dengan kondisi yang dengan demikian perpsutakaan sekolah ini belum mampu meningkatkan minat baca dan kualitas pendidikan, maka dalam hal ini pihak sekolah, sudah semestinya melakukan pembaharuan pengembangan dan pengelolaan perpustakaan sekolah dengan membuat kerja sama dengan masyarakat, sehingga pengembangan perpustakaan sekolah berkelanjutan. Sehingga membaca bukan menjadi malapetaka lagi dalam membangun peradaban pada abad ke-21
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar