Kamis, 02 September 2010

Persma: Mesti Tegar untuk Tetap Bertahan

Seiring arus globalisasi , surat kabar menjadi kebutuhan akan informasi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Berita, laporan, artikel menjadi hidangan yang bisa disantap oleh para orang-orang yang membutuhkan perkembangan informasi. Tidak terkecuali pers mahasiswa (persma). Keberadaan persma sebagai surat kabar atau penerbitan kampus menjawab akan kondisi serta kejadian yang berkembang di tengah-tengah sivitas akademika kampus.Selain sebagai media informasi di kampus, persma juga memiliki peranan yang cukup strategis. Persma menjadi sebuah wadah bagi mahasiswa untuk lebih mengembangkan kemampuan dan kreatifitas, khususnya di bidang jurnalistik dan dunia tulis menulis. Sebuah tempat dalam mendidik kader-kader jurnalis. Alhasil, tidak sedikit jurnalis professional yang bekerja di media massa berasal dari persma. Di sisi lain, persma juga sebagai tempat bagi mahasiswa untuk melatih berpikir kritis, sistematis dan peduli terhadap lingkungan sekitar. Hal ini juga sesuai dengan peran mahasiswa sebagai agent of change, social control, dan iron stock.
Persma atau surat kabar kampus di sebuah perguruan tinggi bak sebuah kapal yang memiliki nakhoda sehingga memiliki arah dan tujuan yang jelas. Begitu juga sebaliknya bagi perguruan tinggi yang tidak memiliki surat kabar atau penerbitan kampus. Namun, kehadiran persma yang juga sebagai penyambung lidah mahasiswa masih dihadapkan dengan pelbagai kendala. Genta, Unit Kegiatan Pers Mahasiswa Universitas Andalas (Unand) Padang misalnya. Dana masih menjadi sebuah kendala. Hal ini juga yang menjadi penyebab Genta hanya mampu cetak lima edisi dalam setahun. “Iklan salah satu alternatif untuk pemasukan,” ujar Pemimpin Redaksi Genta periode 2010-2011, Nanda.
Mustahil untuk menjadi Koran kampus yang solid tanpa didukung dana yang cukup dan memadai. Ini juga menggambarkan kondisi yang dialami Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Pers Detak, surat kabar Universitas Syiah Kuala Aceh. Dana operasional yang berasal dari universitas dirasakan masih belum mencukupi untuk kegiatan penerbitan tabloid Detak. “Itu tidak menghambat Detak untuk tetap eksis,” ungkap Bagian Penelitian dan Pengembangan UKM Pers Detak, Ibnu. Berbagai usaha juga dilakukan seperti iklan untuk menambah biaya operasional.
Kurangnya ketertarikan mahasiswa untuk bergabung dengan organisasi yang bergerak di bidang jurnalistik ini juga menjadi kendala yang dirasakan UKM Pers Detak. Kru yang berjumlah 15 orang telah menunjukkan kurangnya minat mahasiswa untuk bergabung. “Karena kurangya jumlah kru, tak jarang tenaga alumni pun masih dibutuhkan,” tutup Ibnu. Hal ini juga menunjukkan semakin kurangnya minat mahasiswa dalam bidang tulis menulis.
Pers Kampus Aklamasi, Universitas Islam Riau juga mengakui hal yang sama. Di samping terkendala dana, kru (anggota Aklamasi) juga harus dihadapkan pada kesibukan kuliah. Di satu sisi kru harus memfokuskan dirinya dengan target cetak, di sisi lain juga dihadapkan dengan tugas perkuliahan. “Semangat kru kadang naik turun,” ujar Layouter Pers Kampus Aklamasi, Ryan.
Kurangnya komitmen kru tambahnya, juga menjadi kendala bagi persma. Banyak mahasiswa yang tidak punya komitmen yang kuat untuk ikut bergabung, sehingga terkesan hanya untuk coba-coba. Dengan kondisi yang seperti itu, kekompakan sangat dibutuhkan. “Ketika salah seorang kru mulai merasa jenuh dan bosan, kru yang lain harus memberikan semangat,” jelas Ryan. Ketegasan pun dibutuhkan. “Silahkan keluar kalau tidak ada lagi keinginan.”
Kemampuan dalam membagi waktu ketika bergabung dengan persma dan kuliah juga diakui Yassier Siregar, selaku designer grafis, persma Suara USU, Universitas Sumatera Utara. Ia mengaku susah untuk membagi waktu antara kegiatan kuliah dengan kegiatan di Suara USU. “Rapat harian dua minggu sekali yang harus dihadiri,” kata Yassier.
Ia juga menjelaskan kalau keikutsertaannya untuk bergabung dengan persma di karenakan menyalurkan hobi dalam design dan mengembangkan kemampuan dalam berorganisasi. “Belum kepikiran,” jawabnya ketika ditanya apakah kelak ingin menjadi wartawan.
Meski banyak kendala yang dihadapi persma di beberapa universitas, namun semangat dan daya juang untuk tetap memberikan informasi kepada civitas akademika tetap bertahan. Begitu juga halnya dengan Surat Kabar Kampus (SKK) Ganto Universitas Negeri Padang (UNP). SKK Ganto sebagai organisasi tingkat universitas masih tetap eksis dari tahun 1989. SKK Ganto terbilang salah satu koran kampus di Indonesia yang masih tetap menjaga keberadaannya sampai saat ini. Tidak hanya melalui penerbitan tabloid dan majalah edisi kru magang, keberadaan Ganto pun juga ditunjukkan dengan berbagai pelatihan jurnalistik tingkat dasar dan nasional. “Bulan Juli lalu kita mengundang redaktur harian Kompas, Yurnaldi, sebagai pembicara dalam workshop penulisan feature,” kata kepala penelitian dan pengembangan SKK Ganto, Sari Fitria, periode 2009-2010.
Sumber daya manusia juga menjadi tantangan yang kian harus diperhatikan oleh surat kabar kampus yang telah berusia 21 tahun ini. Kemampuan kru dalam menulis juga menjadi tantangan yang kian harus diperhatikan. “Kru Ganto sudah jarang menulis saat ini,” ujar Andika Destika Khagen, selaku dewan ahli SKK Ganto. Ia menilai, menulis adalah pondasi bagi sebuah persma. Ketika orang-orang yang berada di persma tidak menjadikan menulis sebuah kebiasaan, itu akan berpengaruh terhadap kualitas dan hasil penerbitannya.
Kemajuan teknologi mestinya dimanfaatkan secara positif dalam melatih kemampuan menulis khususnya persma, namun tidak dalam pandangan Joni Syaputra, mantan pemimpin redaksi SKK Ganto UNP. Ia menilai perkembangan teknologi seperti halnya facebook, yahoo messanger, dan jaringan sosial lainnya menjadikan mahasiswa (termasuk anggota persma) terbuai untuk melakukan obrolan atau chatting. Ketertarikan akan hal itu mengalahkan minat mahasiswa untuk menulis. “Di surat kabar kampus pun tidak banyak terlihat tulisan yang dikirim oleh mahasiswa,” ungkapnya.
Profesi wartawan tambahnya, semakin kurang diminati oleh mahasiswa. Hal itu disebabkan artikel atau pemberitaan di beberapa media daerah tidak lagi seimbang dan terkesan asal-asalan. Misalnya banyak terjadi kesalahan opini yang dikirimkan penulis, baik dalam ejaan maupun penulisan. “Seolah-olah tidak diedit lagi oleh redaktur,” katanya. Sehingga timbul pandangan negatif dari pembaca (baca: mahasiswa) tentang kualitas surat kabar daerah. “Pembaca bisa menyimpulkan sendiri seperti apa kualitasnya.”
Asmono Wikan dalam bukunya Masa Depan Pers Indonesia, tantangan Ekonomi Politik, dan Teknologi, secara empiris membuktikan kedigdayaan koran-koran daerah. Sebanyak 91,4% responden membaca koran daerah, sedangkan yang membaca koran nasional (baca:koran yang terbit dari Jakarta) adalah 8,6%. Pada kelompok responden remaja, membaca koran daerah sebanyak 91,2% dan hanya menyisakan 8,8% untuk surat kabar nasional. Begitu juga halnya dengan kellompok responden dewasa 8,6% membaca surat kabar nasional dan 91,4% membaca surat kabar daerah. Dari survey ini membuktikan bahwa koran daerah mesti dituntut untuk menyajikan yang terbaik dari setiap pemberitaannya.
Dalam buku ini, Aswono Wikan juga menuliskan bahwa citra pers Indonesia juga tengah dipertaruhkan oleh banyaknya praktik tidak bermoral dari para “wartawan”, yang sering mendatangi institusi-institusi swasta maupun pemerintah untuk meminta uang. Perilaku mereka ini bisa mencoreng citra positif pers, sehingga ada yang menyebutkan jika (praktik) kehidupan pers Indonesia telah kebablasan.
Terkadang independensi menjadi persoalan yang dipertanyakan di tubuh persma. Namun, menurut hemat penulis, meski pendanaan beberapa persma berasal dari universitas, itu tidak mengurangi sikap kekritisan persma dalam menyajikan berita dan laporan melalui surat kabar yang diterbitkannya. Hal yang sama juga diujarkan oleh Priondono, redaktur berita bayangan SKK Ganto. Ia mengatakan ketika awal masuk Ganto sudah diajarkan bagaimana membuat berita yang baik, seperti halnya esensi dari pembuatan berita yang benar. “Kalau memang berita itu patut kita muat kenapa tidak,” ujar Pri, panggilan akrabnya.
Ryan Fernandes, salah seorang mahasiswa Fakultas Teknik UNP mengaku senang ketika Ganto terbit. Ia tidak setuju kalau orang mengatakan Ganto hanya menyampaikan berita yang baik mengenai universitas saja. “Apapun yang terjadi di lapangan (dalam hal ini civitas akademika) Ganto berhak menyampaikan untuk diketahui pembaca,” terangnya.
Berbicara tentang idealnya sebuah persma, pakar jurnalistik dari Universitas Stanford, William L. Rivers, sebagaimana dikutip Assegaf (1985:104), mengemukakan karakteristik ideal sebuah persma yaitu harus mengikuti pendekatan jurnalistik yang serius, harus berisikan kejadian-kejadian yang bernilai berita bagi lembaga dan kehidupannya, harus menjadi wadah bagi penyaluran ekspresi mahasiswa, harus mampu menjadi pers yang diperlukan oleh komunitas kampusnya, tidak boleh menjadi alat klik atau permainan yang memuaskan kelompok kecil di kampus, serta harus dapat memenuhi fungsinya sebagai media komunikasi.
Lomba Pers Mahasiswa
Untuk lebih meningkatkan kualitas dan menjaga eksistensi persma khususnya dalam penerbitan surat kabar atau tabloid, mestinya masih ada sejenis lomba yang diadakan. Seperti halnya pada tahun 1990-1996, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Direktorat Kemahasiswaan pernah mengadakan perlombaan penerbitan kampus mahasiswa (Tabloid).
Namun sangat disayangkan saat ini tidak ada lagi lomba sejenis penerbitan atau surat kabar kampus. Padahal, menurut Qalbi Salim, kru Ganto, dengan adanya lomba seperti itu akan bisa melihat sejauh mana perkembangan persma di Indonesia. Keinginan untuk bersaing dalam peningakatan kualitas SDM antarpersma pun akan terlihat. “Sehingga persma benar-benar sebagai corong perjuangan dan mampu melahirkan jurnalis-jurnalis professional,” harapnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar