Senin, 02 Agustus 2010

Copy Paste : Refleksi Budaya Menerabas


Seiring kemajuan teknologi, banyak hal yang berkembang di tengah masyarakat. Tak terkecuali internet. Kehadiran jaringan komputer yang dibentuk oleh Departemen Pertahanan Amerika ini pada awalnya digunakan untuk keperluan militer, namun sekarang jaringan ini kian berkembang pesat. Selain sebagai media informasi dan komunikasi yang bisa diakses oleh siapapun, perkembangannya pun kian turut dirasakan dalam pembangunan komunitas Internet di dunia.
Kemudahan dalam pemanfaatan internet pun turut dirasakan oleh mahasiswa. Tugas ‘bejibun’ yang diberikan dosen menjadi tantangan di akhir semester. Tak jarang internet menjadi ‘teman curhat’ bagi mahasiswa dalam menyelesaikan tugas. Alhasil, warung internet (warnet) kian menjadi sasaran bagi mahasiswa sebagai tempat yang sering dikunjungi menjelang ujian. “Setiap hari hampir ratusan mahasiswa yang datang,” ungkap Doni, penjaga warnet Air Tawar Barat Padang.
Pemanfaatan internet oleh mahasiswa untuk mencari referensi terhadap tugas yang diberikan dosen tentu hal positif. Tugas yang diberikan dosen, karya ilmiah misalnya, tentu membutuhkan beberapa referensi baik dari internet, koran, atau buku. Dengan adanya referensi mestinya dijadikan sebagai materi pelengkap atau tambahan untuk memperkuat opini terhadap tugas yang dibuat mahasiswa. Lalu bagaimana dengan mahasiswa yang copy paste di internet?
Menurut hemat penulis, istilah copy paste digunakan ketika seseorang menyalin tulisan orang lain dengan tidak mengubah kalimat yang ada, dan kalimat itu digunakan untuk keperluan pribadi tanpa meminta izin terlebih dahulu. Perilaku ini menjadikan seseorang tidak menghargai hasil karya yang dilakukan orang lain. Istilah Copy Paste juga merupakan bagian dari plagiat. Dalam Oxford Dictionary juga dijelaskan bahwa plagiarisme merupakan suatu kegiatan menyalin karya orang lain dan mengakuinya sebagai karya sendiri.
Di kalangan mahasiswa, copy paste acapkali terjadi. Lebih-lebih ketika menjelang ujian akhir semester. “Seringkali internet menjadi sarana untuk copy paste,” kata Drs. Januarisdi, MLSI, dosen Jurusan Bahasa Inggris UNP. Tak ayal, keluhan mahasiswa pun muncul ketika dosen memberikan tugas akhir. Karena hampir setiap mata kuliah memiliki tugas akhir.
Ketika tugas yang diberikan dosen sudah menumpuk, jalan pintas untuk menyelesaikan semua tugas itu adalah melalui copy paste. “Daripada tidak ngumpul tugas sama sekali,” aku Hendra, salah seorang mahasiswa UNP. Jalan buntu yang kian tak disadari.
Tak hanya tugas akhir, pembuatan skripsi atau tesis pun juga diwarnai copy paste di kalangan mahasiswa. Banyak kasus yang dilakukan mahasiswa seputar copy paste. Mulai dari peminjaman skripsi yang rawan plagiat, hingga ada mahasiswa yang nekad untuk merobek halaman skripsi di perpustakaan (Sumber: Surat Kabar Kampus Ganto UNP Edisi No. 151).
Cara nekad mahasiswa turut mewarnai bahaya copy paste. Tak ayal, beberapa peristiwa halaman skripsi (disobek) mahasiswa menjadi korban keganasan copy paste. Halaman incaran itu adalah bab II dalam penyusunan skripsi. Tak mungkin mahasiswa yang tak sedang menyusun skripsi yang melakukan perbuatan itu.
Tak terkecuali, calon profesor pun turut menjadi pelaku copy paste. Pada awal tahun 2010, marak diberitakan oleh beberapa media massa tentang plagiat yang dilakukan oleh beberapa dosen calon professor di salah satu perguruan tinggi di Bandung. Bahkan ada seorang professor yang sudah lama ditengarai menjiplak karya orang Australia, tidak hanya satu kali melainkan sudah enam kali. Kasus yang serupa juga terjadi di kota pelajar Yogyakarta. Dua calon guru besar dari salah satu perguruan tinggi swasta menjiplak skripsi mahasiswa S-l guna melengkapi syarat mendapat gelar guru besar.
Bisa dibayangkan calon professor, dosen dengan pangkat tertinggi di perguruan tinggi atau mahaguru, melakukan perilaku yang bukan hasil dari pemikirannya sendiri. Entah apa yang akan terjadi dengan mahasiswa yang diajarkannya nanti. Tentu perilaku yang dilakukan oleh sang professor tersebut akan menambah deret angka buruknya perilaku kaum akademisi dan mengotori dunia pendidikan Indonesia.
Begitu juga halnya perilaku copy paste yang dilakukan oleh mahasiswa. Adanya perilaku ini lebih menjadikan mahasiswa bodoh dan enggan untuk berpikir. Ketika copy paste menjadi kebiasaan, maka itu akan sulit untuk diubah. Karena pada dasarnya, tugas yang diberikan dosen kepada mahasiswa akan menjadi gampang diselesaikan hanya karena copy paste.
Untuk menghilangkan perilaku yang kian menggrogoti mahasiswa ini, dosen pun mesti ikut berperan. Setiap tugas yang diberikan dosen kepada mahasiswa mesti harus dilakukan tindak lanjut (follow up) oleh dosen. Ketika dosen menemukan hasil karya mahasiswa yang melakukan copy paste, dosen mestinya harus memanggil ulang mahasiswa yang bersangkutan dan memberikan ganjaran kalau terbukti melakukannya.
Namun sebaliknya, ketika dosen hanya cuek dengan tugas yang dikerjakan mahasiswa, tak menutup kemungkinan ‘manfaat’ dari kemudahan copy paste akan merajalela di kalangan mahasiswa sebagai penerus kemajuan bangsa. Mengingat hal ini, mesti dilakukan evaluasi terhadap peningkatan kinerja dosen atau guru khususnya dalam proses penilaian pembelajaran.
Melihat kecenderungan beberapa mahasiswa yang melakukan copy paste, keinginan yang berasal dari individu mahasiswa untuk kuliah kian dipertanyakan. Kondisi seperti ini mencerminkan tidak adanya tujuan yang jelas bagi mahasiswa dalam melangkahkan kakinya di perguruan tinggi. Dengan kata lain, mahasiswa tidak memiliki tujuan untuk belajar.
Tak salah rasanya kalau kita bercermin ke negara maju, Amerika Serikat. Kemampuan akademik adalah faktor utama bagi siswa untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Tidak sebagian besar tamatan sekolah menengah atas bisa melanjutkan ke perguruan tinggi. Kemampuan siswa untuk melanjutkan perguruan tinggi memang teruji. Higher School Sertificate (HSS) menjadi program dua tahun yang dilaksanakan oleh Secondary Schools Examination Council untuk siswa yang dinyatakan berhak melanjutkan ke perguruan tinggi. HSS seperti halnya sebuah pembekalan terhadap calon mahasiswa. “Sehingga setiap calon mahasiswa mempunyai tujuan yang jelas untuk apa mereka kuliah,” jelas salah seorang pakar pendidikan UNP, Prof. Azmi. Melalui pembekalan ini tentunya kecil kemungkinan akan ditemui mahasiswa yang melakukan perbuatan tak bertanggungjawab, seperti halnya copy paste.
Perilaku copy paste tidak hanya melanda kaum akademisi, dunia musik pun turut diwarnai oleh perilaku tak bertanggung jawab ini. Pada Desember 2008, gitaris kenamaan, Joe Satriani melayangkan gugatan ke pengadilan untuk menghukum Coldplay yang menjiplak (bagian dari copy paste) lagunya. Joe sebelumnya bersikeras bahwa lagu Viva La Vida milik Coldplay sangat mirip dengan karyanya yang bertajuk If I Could Fly.
Di Indonesia sendiri, penyanyi Januar Arif yang dianggap menjiplak lagu Bleending Love milik Leona Lewis. Arif sendiri mengakui kalau ada kemiripan lagunya dengan lagu Leona Lewis dalam hal tempo dan ketukan. Serta masih banyak lagi kasus-kasus yang berupa hasil jiplakan atau copy paste yang terjadi.
Kalau mengacu pada Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2002, maka sudah selayaknya para musisi dituntut untuk lebih berhati-hati dalam menciptakan sebuah karya. Dalam acuannya, sebuah karya musik dianggap plagiat jika memiliki kesamaan atau kemiripan dengan lagu lainnya sebanyak delapan bar.
Sesuai dengan apa yang disampaikan di atas, Prof. Koentjaraningrat dalam bukunya ‘Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan’ menyebutkan lima sifat mentalitas yang tidak sesuai dengan pembangunan. Salah satunya sifat mentalitas yang suka menerabas. Menerabas di sini artinya mengabaikan proses dan dan mementingkan hasil yang merupakan risiko dan orientasi vertikal. Mentalitas menerabas akibat dari mental yang meremehkan mutu. Di mana mental ini hanya mengharapkan keunggulan hasil dan mengacuhkan kualitas proses. Itu artinya lebih memilih jalan yang paling mudah dalam melakukan sesuatu. Dengan kata lain ingin cepat sampai. Mental menerabas inilah sebagai karakter bangsa Indonesia saat ini.
Begitu juga halnya dengan perilaku copy paste, sebuah perilaku yang tak membutuhkan proses. Secara tak sadar, pelaku dari perilaku ini hanya mengandalkan usaha yang telah dilakukan oleh orang lain demi mencapai kepentingannya sendiri. Perilaku ini dilakukan hanya untuk mendapatkan hasil dengan mengabaikan proses yang semestinya diperoleh dari kemampuan diri sendiri. Seperti contoh: mahasiswa yang melakukan copy paste dalam mengerjakan tugas, penyanyi menciptakan lirik lagu dengan meng-copy paste karya orang lain.
Sulit kita membayangkan kalau bangsa Indonesia akan bersaing di tingkat global, kalau hanya dengan sebuah kepercayaan yang mengharapkan hasil orang lain untuk kebutuhan diri sendiri. Bagaimana mungkin kompetisi itu akan menghasilkan pemenang kalau orang-orangnya tidak percaya diri terhadap kemampuan dan hasil pikirannya sendiri.
Lagi-lagi tak salah kalau perilaku copy paste atau menjiplak karya tulis orang lain adalah sebuah gambaran akan keterpurukan dan ketidakberdayaan dalam menghargai kualitas proses, serta rasa tanggung jawab yang semakin luntur. Menjiplak karya tulis orang lain, keseluruhan atau sebagian adalah melanggar hukum, melanggar Undang-Undang Hak Cipta dan dapat dipidana 4 tahun penjara. Bersama mari katakan haram untuk copy paste, yang hanya sebuah refleksi budaya menerabas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar