Rabu, 18 November 2009

Sang Provokator


Siapa sangka di balik wibawamu.
Sungguh membuat kami terlena.
Engkaulah si pengacau bangsa, dan
Apa yang sedang kau cari.
Adakah kepuasan di hatimu.
Melihat kami bercerai berai…..

Begitu senyap malam itu, tak satupun penduduk desa yang keluar rumah. Ditambah dengan gerimis yang sejak siang tadi terus mengguyur perkampungan itu. Seakan-akan setiap penghuni desa menikmati malam itu dengan balutan selimut tebal yang membungkus tubuh mereka.

Sesekali terdengar bunyi tembakan yang berasal dari berondongan senjata dan hempasan bunyi kekayuan. Dari dalam sebuah rumah papan itu, terdengar percakapan dua orang laki-laki setengah baya.
“Kamu dengar suara itu?”
“Ya, suara orang yang berjalan dengan sepatu boot.”
“Ya, kedengarannya seperti itu.”
“Ayo kita lihat keluar, apa lagi yang dikacaukannya?”
“Jangan ! Siapa tahu Si Pengacau itu belum pergi.”
“Siapa tahu mereka belum berbuat apa-apa.”
“Dugaan kamu sangat berbahaya. Kamu bisa dituduh komplotan para Provokator itu. Kamu bisa dimasukkan ke dalam lapas. Kamu akan diseret seperti halnya seekor binatang.”
“Atau mungkin seperti halnya tikus?”
“Mungkin saja.”
Setelah beberapa menit kemudian kedua laki-laki itu berhenti lagi berbisik. Dari luar rumah, dari kejauhan terdengar lagi beberapa orang berlari dan ada suara orang yang memukul sesuatu dengan menggunakan kapak.
“Kamu dengar lagi itu?”
“Ya, sepertinya suara itu berasal dari kantor kepala desa.”
“Yang berada di samping Gedung Bulu Tangkis itu kan ?”
“Sepertinya begitu”
Dalam kekuasaan malam. Salah seorang dari kedua laki-laki itu mengintip dari jendela. Dan yang satunya lagi memberanikan diri untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi di luar sana . Secara diam-diam dari mereka menyusuri padang pisang – tempat di mana penduduk desa itu bercocok tanam. Mereka mengatik-atik langkahnya. Agar tidak diketahui oleh para mereka – Provokator. Masih dalam keadaan mengendap-endap, terdengar lengkingan suara perempuan yang membahana dalam kegelapan.
“Jangan…… jangan lakukan itu. Tolong…..tolong…. !!”
Dua laki-laki itu bergegas menuju sumber suara yang terdengar dalam kegelapan. Dilihatnya segerombongan pengacau itu sedang menghancurkan dan meluluhlantakkan kantor kepala desa.
“Hei…. Apa yang kalian lakukan…” Bentak Rusli, salah seorang pemuda yang tinggal di kampung itu.
Tanpa jawaban apa-apa, segerombolan pengacau itu langsung melepaskan alat-alat tajam yang berada di tangannya. Mereka langsung pergi meninggalkan reruntuhan kantor kepala desa itu dan beberapa orang penduduk yang menyaksikan aksi pengacauan. Entah apa alasannya, hingga mereka menghancurkan kantor itu.
“Untung baru sebagian yang mereka hancurkan.”
“Dan untung bukan tempat di mana arsip-arsip para penduduk desa ini yang dihancurkan.”
“Mungkin mereka hanya iseng saja untuk mencari perhatian para penduduk. Ditambah lagi mereka tidak mempunyai pekerjaan. Atau untuk menghilangkan stress maka mereka menghancurkan kantor kepala desa.”
“Dasar pengacau?”
“Memang pengacau alias Provokator.”
“Atau karena ada sesuatu yang membuat mereka marah sehingga mereka tega melakukan itu?”
“Ah, itu hanya alasan. Apa yang membuat mereka marah?. Kepada Kepala Desa? Saya rasa ga’ ada masalah antara mereka dengan Pak Sugro. Lagi pula Pak Sugro itu kan orangnya baik. Coba lihat ketika kita membuat KTP, ga’ ada kita mengeluarkan uang satu rupiah pun kan ?”
“Ya, Pak Sugro itu kan baik orangnya”
Malam itu Kantor Kepala Desa masih bisa diselamatkan. Kantor kepala desa itu adalah sedikit dari beberapa tempat yang menjadi korban kekacauan para Provokator. Entah malam besok tempat apa lagi yang akan mereka hancurkan. Jangan coba-coba tertidur lelap di malam hari. Bisa-bisa rumah tempat tinggal kita sendiri yang akan mereka bakar.
Malam itu Kantor Kepala Desa masih selamat, tetapi kemarin tempat Posyandu yang berada di sebelah rumah kepala desa telah dibakar habis-habisan. Tanpa meninggalkan sisa puing-puing bangunan sedikitpun. Dan kemarin dulu sebagian lokal sekolah dasar yang habis terbakar. Setelah semua itu dibakar, lalu dibiarkan begitu saja hingga menghasilkan puing-puing bangunan yang tak terurus. Banyak penduduk desa yang merasa ketakutan pada malam hari. Anak-anak sekolah yang takut untuk pergi ke sekolahnya masing-masing. Dan bahkan para pegawai yang tidak masuk kerja karena selalu dihantui rasa takut setiap hari. Kalau demikian halnya, dapat dibayangkan semakin bobroknya tanah ibu pertiwi ini dalam beberapa tahun mendatang. Sebuah negara yang rakyatnya selalu ditakuti dengan tangan-tangan para pengacau.
Warga desa itu tidak tahu apa salah mereka. Tiba-tiba saja berdatangan para tangan-tangan yang lebih suka menciptakan rasa takut, bercerai berai, hingga membuat orang-orang terlena dengan perbuatannya itu – pengacau masyarakat.
Penderitaan warga desa semakin sempurna karena banyak anak gadis di desa itu yang menghilang begitu saja. Ada yang benar-benar hilang – dalam arti tidak pernah kembali ke rumah – ada yang ditemukan di tengah-tengah hutan dalam keadaan mengenaskan. Gadis-gadis desa itu memiliki banyak cerita. Kalau ditanya mereka hanya menangis, meronta atau menjerit-jerit ketakutan.
“Mengapa kita tidak melawan. Ini baru di desa, coba bayangkan kalau hal ini tersebar di kota-kota. Bagaimana jadinya negeri kita ini. Di mana harga diri kita,” kata Rusli, salah seorang pemuda yang tinggal di kampung itu.
“Ya, kamu benar. Kalau kita seperti ini, ini sama halnya dengan kita membiarkan para provokator tumbuh subur di desa ini. Lihat, betapa banyak kerusakan yang telah diperbuatnya. Kita buat perlawanan kepada mereka. Taruhan nyawa pun saya berani.”
“Hati-hati kalau bicara.”
“Mati lebih baik daripada melihat kekacauan yang seperti ini. Lihat, gadis-gadis kita diberlakukan seperti halnya pelacur. Saya pikir anjing masih lebih terhormat karena mereka masih memiliki gigi-gigi putih dan kuat. Sedangkan kita punya apa?”
“Oke, kita akan melawan dan membuat perhitungan dengan mereka. Tapi bagaimana caranya?”
“Kita harus punya semangat untuk mengusir dan melenyapkan para pengacau yang berani melakukan aksinya di tanah ibu pertiwi yang tidak bersalah ini”.
Maka secara diam-diam para pemuda desa itu mulai menghimpun perlawanan. Mereka mengatur strategi. Dan warga desa itu pun sudah mulai berani mendukung tekad para pemudanya. Kini mereka sengaja tidak tidur semalaman untuk menjaga kampung mereka. Dan jumlah mereka makin lama makin besar. Mereka sudah bertekad untuk menumpas segala bentuk aksi kekacauan dan penindasan terhadap hak-hak para gadis di daerah itu.
Sudah tiga malam mereka menunggu para provokator – para pengacau di daerah mereka. Namun, pada malam yang ke-empat. Sebuah penantian yang tak sia-sia. Malam itu, para provokator melakukan kembali aksinya. Targetnya yaitu sebuah gedung serba guna. Sebuah tempat yang biasanya digunakan oleh para pemuka adat dalam melakukan tukar pikiran atau berembuk bersama dalam menetapkan keputusan mengenai adat istiadat yang berlaku. Ketika para provokator hendak melakukan aksinya, dengan sigatnya para pemuda desa itu langsung menghadang. Laksana sebuah perang gerilya seperti yang dilakukan nenek moyang mereka melawan penjajah. Akhirnya mereka berhasil dalam menumpas para pengacau yang menjadi provokator di daerah tempat tinggal mereka.
“Sungguh ini bukan pemberontakan.”
“Ya, ini adalah pembelaan diri.”
“Bukan kita yang memulai, tapi mereka.”
“Kita bangkit karena harga diri kita diinjak-injak.”
“Ya, karena gadis kita dijahanami.”
“Kita cinta desa ini dan negeri ini.”
“Kita hanya mengingatkan bahwa setiap manusia memiliki harga diri. Kita bukanlah cacing. Cacing saja menggeliat kalau diinjak.”
Dan apa yang dilakukan warga desa itu mengundang simpati warga desa tetangga. Kepompong yang tadinya kecil makin membesar. Tunas itu tumbuh menjadi sebuah pohon yang besar dan menjulang tinggi.
Pagi itu, datang segerombongan orang yang tak dikenal. Dengan memakai pakaian yang serba hitam. Tak diketahui dari mana asal mereka. Mendekati para penduduk desa yang sedang berkumpul. Membawa secarik kertas yang digulung rapi. Warga sekitar terhenyak seketika.
“Jangan-jangan mereka juga para provokator?”
“Bisa jadi, mereka komplotan dari orang-orang yang melakukan perlawanan dengan kita malam tadi.”
Lalu, salah seorang di antara mereka memberikan secarik kertas yang telah digulung. Dan memberikannya kepada salah seorang warga desa. Lalu dibacalah isi dari secarik kertas itu.
“Dengan segenap kerendahan hati, kami ingin meminta maaf kepada warga desa ini. Atas perbuatan dari sebagian anggota kami yang telah melakukan kekacauan di desa ini. Kami akan mengganti setiap kerusakan. Atas penerimaan maaf dari kesalahan yang telah kami perbuat, kami ucapkan terima kasih.”
Warga desa itu mulai senang atas permintaan maaf dari para komplotan pengacau itu. Dan mereka saling bersalaman satu sama lainnya. Di tengan-tengah persalaman damai. Terdengar dari kejauhan suara yang menggelegar. Disusul dengan suara jeritan minta tolong.
“Tolong…..tolong…. rumah saya terbakar.”
Diusut-usut, ternyata yang membakar rumah itu adalah seseorang yang memakai baju hitam. Persis dengan apa yang dipakai oleh orang-orang yang meminta perdamaian tadi. Tanpa pikir panjang, warga desa itu langsung menangkap dan membekuk sebagian dari mereka. Tanpa menunggu perintah dari kepala desa, warga desa langsung melemparkan mereka ke dalam rumah yang terbakar tadi.
Sebuah sanksi yang terkesan keji.
“Kok, tega-teganya ya dia membakar orang-orang itu.”
“Akan lebih tega lagi bagi mereka yang merampas hak orang lain, menimbulkan kekacauan, menginjak-injak harga diri orang lain, hingga menjahanami para gadis-gadis yang tidak bersalah.”
“Berarti mereka biadab?”
“Memang biadab.”
Langit mendung dan desaran angin yang menyapa desa itu.

Padang, April 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar