Jumat, 20 November 2009

AKu, Pengemis dan Penjaga Pagar


Hatiku meleleh bak plastik yang dijilat api. Ketika sebuah rintihan suara yang tiba-tiba menyentuh gendang telingaku yang terlontar dari mulut nenek tua tepat di gang Tua itu.
“Kasihani saya nak, udah tiga hari saya ga’ makan”.
Dengan uluran kedua tangan sembari mengharapkan belas kasihan.
Ku renggup saku dengan tangan kananku sambil iringan rasa iba. Ku temukan kertas yang bernilai lima ribu rupiah lalu ku berikan kepada nenek tua yang pembalut badannya lusuh, berantakan hingga compang camping. Di sertai dengan raut wajah yang senantiasa meminta belas kasihan dari setiap orang-orang yang melewati gang itu. Kadang terbesit dalam hatiku bahwa tuhan itu tidak adil. Meski di satu sisi orang percaya bahwa tuhan itu maha adil dan bijaksana.
“Yah, inilah kehidupan. Di balik semua itu pasti ada hikmahnya”, ujarku seakan menghibur diriku sendiri.
Setelah beberapa saat kemudian aku melanjutkan kembali perjalananku yang kian menjauh dari nenek tua itu. Mungkin inilah terakhir kalinya aku bisa menatap wajah nenek tua yang meminta-minta itu. Karena desakan dari abangku untuk tinggal di rumahnya di sebuah kota besar, pikirku sejenak. Terkadang ada sebuah dorongan sanubari dari diriku yang memaksaku untuk tetap bertahan di kampung asliku ini. Tapi apalah daya, mungkin abangku lebih membutuhkanku. Mau tak mau aku harus pindah, ujarku dalam hati.
Dentuman waktu menghantarkanku di rumah abangku. Sebuah kota besar yang ternama. Suasana di sini tak seperti di tempat tinggalku yang dulu. Sangat jauh berbeda. Di sini aku berada di kompleks perumahan para pejabat-pejabat tinggi di daerah ini. Tidak sama halnya dengan di desa dulu, di sana hanya rasa iba yang menghiasi hidupku. Ingat para anak-anak dan nenek-nenek tua renta meminta belas kasihan sembari uluran tangan berharap ada sebuah kertas yang bernilai harganya yang keluar dari saku mereka.
Tapi di tengah kota ini, hanya sebuah suara yang kerap kali ku dengar. ”Tit.....tit.....tit....”, itulah dentuman suara yang selalu menggelintir di gendang telingaku siang dan malam. Segelintir suara klakson mobil dari mereka para pejabat tinggi daerah yang pulang dari kantornya. Tak beberapa lama klakson mobil itu berdenting, dengan sigapnya datanglah pembantu yang membuka pintu gerbang. Menyambut sang majikan sepulang dari kantor. Ada dari mereka yang melontarkan senyum ketika dibukakan pintu gerbang. Namun, tidak sedikit dari mereka yang geram ketika terlambatnya pembantu untuk membukakan pintu gerbang.
”Bung, engkau telah diberi kekayaan dan kedudukan yang tinggi. Namun, semua itu tidak mampu menepis amarahmu terhadap mereka para pembantumu”, gumamku dalam hati.
Kota ini hanya membuatku terpana dan tergesima dengan sederatan kemewahan roda empat yang berjejer rapi di rumah para pejabat itu. Kadang-kadang terasa sesak dalam dadaku dan gendang telingaku pun terasa mengiang ketika mendengar dan meyaksikan hiasan kemewahan. Hanya sebuah kemewahan tanpa sebuah nurani. Akhirnya aku putuskan untuk kembali ke kampung halamanku. Aku menggunakan angkutan roda empat yang memakan waktu sekitar tujuh jam perjalanan menuju desaku.
Tepat di samping kursiku waktu itu, ada seorang nenek tua.
”Mau kemana nek?”, tanyaku.
Nenek itu hanya diam, tak satu katapun yang terlontar dari bibirnya yang terlihat pucat. Kutanya sekali lagi dengan frekuensi suara yang melebihi sebelumnya.
”Nenek mau ke mana?.........”,,,,,. Juga tak ada jawaban.
Ku pikir nenek itu tuli karena tangannya yang berkerut hingga menampakkan warna hijau di urat-uratnya. Namun anehnya ketika aku bertanya, nenek itu langsung melirikku secara tajam. Seakan-akan mau menjawab pertanyaanku. Hal ini memecahkan logikaku hingga rambut halus pun yang bertengger di punggungku ikut berdiri.
Dalam kebingunganku, secara tiba-tiba aku teringat dengan nenek tua yang meminta-minta di gang Tua di desaku. Tak satupun perbedaan yang aku temui antara nenek yang di sebelahku ini dengan nenek yang ada di gang Tua itu.
Dentuman waktu berdetak tepat di angka lima sore, yang menyambut kedatanganku. Tanpa membuang-buang waktu aku langsung menuju gang Tua yang berjarak setengah kilometer dari rumahku.
Aku terhenyak seketika, ketika aku melihat traktor dan buldozer yang meluluhlantakkan jalan di gang Tua itu. Aku bertanya kepada salah seorang pria setengah baya yang berdiri tepat di belakang alat berat itu.
”Pak emangnya jalan di gang ini mau dibuat apa?”
”Jalan di gang ini mau di aspal dan diperbesar”, jawabnya.
”Oo.... begitu, terima kasih ya pak”.
Hilang semua asaku untuk bertemu dengan nenek tua yang meminta-minta di gang Tua itu.
Tepatnya dari arah gang Todak, terlihat orang-orang mengikuti arah keranda yang dipikul oleh empat orang pemuda. Dengan iringan lantunan kalimat laila ha illallah..... seakan-akan melepaskan kepergian sang tubuh yang terbujur kaku itu.
”Pak, siapa yang meninggal?”, tanyaku pada salah seorang dari mereka.
”Nenek tua yang biasanya meminta-minta di gang Tua itu”, jawabnya sambil menunjuk ke arah gang tua itu.
Denyutan jantungku seakan-akan menerpa ku secara tiba-tiba, aku terhenyak, terdiam seribu bahasa setelah mendengar jawaban dari bapak itu.
Tiga bulan berlalu, dentuman waktu kembali menghantarku di tempat abangku di sebuah kota besar yang ternama. Di sana aku menghabiskan puing-puing waktu di sebuah yayasan sosial milik abangku sendiri. Kegiatan rutin yang dijalankan oleh yayasan itu adalah membantu anak-anak jalanan dalam memperoleh ilmu dan tempat tinggal . Tak jarang juga memberikan bantuan kepada orang-orang yang terkena musibah bencana alam.
Siang itu, di tengah-tengah kesibukanku. Aku beristirahat sejenak sembari menghilangkan penat yang menggrogoti tubuhku. Dalam lamunanku, aku baru sadar bahwa aku hanyalah pengemis kecil yang senantiasa meminta-minta belas kasihan dari-Nya. Namun, aku juga tidak lebih bak seorang pembantu yang membukakan gerbang karena kasih sayang ke majikanku. Lamunanku itu membuat tubuhku terbujur kaku hingga tak dapat ku gerakkan lagi. *Afdal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar