Setiap keputusan yang diambil oleh setiap manusia, tampaknya tak selalu diamini oleh masyarakat sekitar, apalagi keluarga besar. Salah satunya adalah berpindah keyakinan. Mulai dari dikucilkan oleh masyarakat, di usir, disiksa, hingga parahnya tidak diakui lagi sebagai anggota keluarga. Barangkali, kisah ini adalah sepenggal agonia dari Hong Siok Tien, wanita keturunan Tiong Hoa ini.
Penderitaan seakan tak ada henti dalam menerpa relung kehidupannya. Seolah-olah tak ada kenangan indah yang terpatri dalam benak untuk menjalani kehidupan yang fana. Tak ada senyum yang mengembang, ataupun gelak tawa. Yang ada hanya tetesan air mata yang menemaninya dalam mengarungi jalan kehidupan. Tak hanya wanita itu yang merasakan kesedihan, tetapi bagi orang-orang yang telah mendengarkan perjalanan hidupnya pun akan merasakan kepedihan yang sama. Kepedihan itu dialami Hong Siok Tien, wanita kelahiran 11 Agustus 1942. di kampung China, Bukittinggi..
Wanita berumur 66 tahun ini sudah mengalami penganiayaan pada umur 10 tahun. “saya diperkosa ayah angkat sendiri”, kenangnya. Tentu sebuah kepedihan yang mendalam yang dirasakan Hong Siok Tien di usia yang semestinya ia mendapatkan belaian kasih sayang dan kegembiraan bermain bersama teman-teman. Ternyata kehidupan yang dialami Hong Siok Tien jauh berbeda dari anak-anak seumurnya.
Pada tahun 1975, wanita kelahiran Kampung Cina Bukittinggi ini menikah dengan seorang laki-laki beragama Islam, Marzuki Martondang. Melalui perkawinan inilah Hong Siok Tien masuk menjadi seorang muallaf dan masuk Islam hingga namanya berganti menjadi Rostina. Bersama Marzuki, Rostina menjalani kehidupan rumah tangga di kota Medan.
Wanita yang berasal dari keluarga kaya ini mulai merasakan sebuah ketidaknyamanan dalam Islam. Ditambah lagi sang suami yang yang tidak bekerja, sehingga terasa cukup berat dalam menafkahi keluarga. Akibatnya, dia keguguran dalam keadaan hamil muda. “saya sempat berpikir untuk kembali ke agama Khatolik, namun dilarang oleh suami saya”, tuturnya Kamis, (27/11).
Setelah beberapa tahun menjalani pernikahan dengan Marzuki-laki-laki yang mengajak Rostina (Hong Siok Tien) untuk masuk Islam meninggal dunia. Sebelum meninggal Marzuki memberikan amanat pada keluarga untuk menjaga Rostina agar tetap memeluk Islam. “saya dibawa ke Padang agar saya tetap memeluk Islam”, katanya.
Sesampai di Padang, Rostina tinggal di rumah orang yang satu marga dengan suaminya di Pasir Putih, Lubuk Buaya. Penganiayaan dirasakan kembali oleh Rostina semenjak tinggal di rumah Lubis-orang yang satu marga dengan suaminya. “sewaktu saya salat, memang tidak ada toleransi. Terkadang sajadah saya ditarik-tarik, saya dianggap sebagai pembantu, makan pun seadanya” jelasnya sambil bercucuran air mata.
Kemudian Rostina diajak oleh salah seorang warga sekitar untuk pindah dan tinggal di rumahnya. Namun penyiksaan kembali dirasakan Rostina. Seakan-akan kepedihan itu telah mendarah daging dalam relung kehidupannya. “ternyata tempat saya tinggal itu lebih parah lagi dari apa yang saya bayangkan. Kekerasan terjadi antar suami-istri. Akhirnya saya lari”, ujarnya sambil mengusap air mata.
Akhirnya wanita yang tidak mempunyai keluarga ini kembali ke rumah Lubis-tempat awal Rostina tiba di Padang. Kekecewaan pun terus menghinggapinya. Tidak ada aktifitas lain yang dirasakannya kecuali bekerja. “dengan kondisi saya yang seperti ini, saya tiap hari harus mencabut rumput dan membersihkan rumah”, ujarnya.
Penderitaan yang tiada hentinya yang dialami wanita yang mempunyai hobi menjahit dan memasak ini, akhirnya juga dirasakan oleh salah seorang mahasiswa Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) BP 2005. Andra, salah seorang mahasiswa yang praktek lapangan di dinas kelurahan Lubuk Buaya di mana Rosdiana sempat tinggal. Karena terbesit sebuah rasa kasih sayang dan kasihan terhadap Rosdiana, Andra pun turut membantu dalam mencari tempat tinggal wanita yang kepalanya telah dipenuhi rambut-rambut putih itu. “saya pikir ini juga termasuk ibadah”, tuturnya.
Berkat bantuan Andra inilah, pada tanggal 6 November, Rostina pindah ke salah satu rumah dosen STKIP, di Pasir Putih, Lubuk Buaya. Hanya dalam hitungan beberapa jam, Rostina pun kembali lari dari rumah itu, di karenakan suami dari pemilik rumah itu tidak menyukai kalau Rostina tinggal dirumahnya. Sampai tulisan ini diterbitkan, belum ada kepastian di mana Rostina mendapatkan tempat istirahat untuk mengisi masa tuanya.
Entah sudah berapa kali Rosdiana merasakan pahitnya diusir. “Saya tidak butuh kaya, tidak butuh emas, sekarang saya hanya ingin mencari Allah SWT. Saya sadar umur saya sudah renta”, ujar Rostina dengan sejuta kepedihan dan setumpuk harapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar