Kamis, 26 Maret 2009

Faktor Dibalik Menurunnya Motivasi Belajar Siswa

SEKOLAH merupakan salah satu lingkungan yang sangat berperan dalam perkembangan kepribadian seorang anak. Selain di lingkungan keluarga (rumah), bagi anak-anak yang sudah bersekolah, sekolah-lah lingkungan yang setiap hari dimasukinya. Anak-anak yang sudah duduk di bangku SMP atau SMA pada umumnya menghabiskan waktu sekitar tujuh jam dalam sehari di sekolahnya. Ini berarti hampir sepertiga dari waktunya setiap hari dilewatkan di sekolah . Sehingga pengaruh sekolah terhadapa perkembangan jiwa anak cukup besar.

Sebagai lembaga pendidikan, sebagaimana halnya di lingkungan keluarga, sekolah juga mengajarkan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat di samping mengajarkan berbagai keterampilan dan kepandaian kepada para siswanya. Pengaruh yang didapatkan tentunya diharapkan pengaruh yang positif terhadapa perkembangan para siswa.

Sekolah yang tadinya merupakan lembaga pendidikan-pembentuk nilai dalam diri anak (baca:siswa) juga tidak lepas dari berbagai tantangan. Kalau kita lihat sekarang ini, tidak hanya lingkungan sekolah dan lingkungan keluarga sebagai tempat bagi para anak-anak, baik sebagai tempat bermain, belajar dan lain sebagainya. Banyak lingkungan lain yang menyebabkan motivasi belajar siswa menurun akibat dari adanya berbagai hal yang terjadi di sekolah. Kita lihat saja contohnya di kota Padang , seperti adanya pasar, supermarket, plaza, dan tempat-tempat rekreasi lainnya yang mungkin saja merupakan alternatif yang lebih menarik bagi para siswa daripada sekolah itu sendiri. Dan kenyataannya, para siswa terkadang lebih memilih pasar, plaza, mall dan lain sebagainya sebagai tempat untuk nongkrong. Meski di satu sisi, masih banyak anak-anak tidak seperti itu. Tetapi yang dibahas kali ini lebih tertuju kepada mereka yang disebutkan di atas.

Menurut hemat penulis salah satu faktor yang menyebabkan menurunnya motivasi para siswa yang menyebabkan para siswa lebih memilih lingkungan di luar sekolah adalah materi pelajaran dan guru yang menyampaikan materi pelajaran itu sendiri. Mengenai materi pelajaran sering dikeluhkan oleh para siswa sebagai hal yang membosankan, terlalu sulit, terlalu banyak bahannya untuk waktu yang terbatas, dan sebagainya. Akan tetapi lebih utama dari faktor materi pelajaran, sebenarnya adalah faktor guru.
Membahas masalah ini mengingatkan penulis ketika masih duduk di bangku SMA. Banyak pendapat dari teman-teman yang mengeluhkan tentang guru-guru yang menyajikan pelajarannya dengan cara yang kurang menarik. Dan ini pun nantinya akan mempengaruhi mata pelajaran itu sendiri. Dengan adanya pandangan negatif oleh siswa terhadap salah seorang guru, secara otomatis mata pelajaran yang diajarkan oleh guru tersebut juga tidak akan lagi disukai oleh siswa. Dan itu pun sudah terbukti bagi penulis sendiri ketika masih di SMA, pelajaran yang tidak disukai adalah pelajaran fisika. Pada awalnya memang ada rasa dongkol yang timbul ketika mendengar pelajaran fisika dan melihat guru fisika itu sendiri. Seandainya disuruh untuk memilih, tentu keluar atau tidak hadirlah yang merupakan salah satu cara yang nyaman untuk tidak mengikuti pelajaran tersebut. Hal ini terjadi disebabkan tidak menariknya materi pelajaran yang disampaikan oleh guru tersebut dan terlalu serius. Ditambah lagi dengan mata pelajarannya yang sulit. Kenyataan seperti ini rasanya sudah umum terjadi di seluruh negeri ini.

Berkurangnya semangat belajar para siswa, pada akhirnya akan menyebabkan kurang betahnya siswa untuk mengikuti proses belajar di sekolah. Sehingga ada sebagian dari siswa yang lebih memilih untuk tidak hadir atau “cabut” di saat ada mata pelajaran atau salah seorang guru yang tidak disukainya.

Timbul sebuah pertanyaan, mengapa para guru kurang bisa menyajikan pelajarannya dengan menarik? Kalau kita bandingkan dua puluh tahun yang lalu, di mana ada sebuah survey tentang ketidakpuasan kerja yang dilakukan oleh harian Kompas (1988), terhadap 350 orang guru dan dosen di Jakarta, Surabaya, Bandung dan Yogyakarta. Hanya 23% yang mengatakan puas terhadap imbalan gaji yang diterima dan 30% yang menyatakan kepuasannya dalam karir, sisanya menyatakan masih belum puas atau sama sekali tidak puas terhadap imbalan gaji yang diberikan. Tetapi kalau mengenai status memang agak lebih banyak yang menyatakan kepuasannya, yaitu sampai 46%.

Rasanya sekarang juga tidak jauh berbeda dengan dua puluh tahun yang lalu. Hal-hal yang masih hangat untuk dibicarakan di kalangan para guru adalah imbalan gaji yang masih terlalu rendah. Ini memang benar, apabila kalau kita bandingkan dengan Negara tetangga, Malaysia , gaji para guru di Indonesia memang jauh lebih kecil dari Malaysia .

Namun pemerintah Indonesia juga tidak tinggal diam. Kabar baik pun akan diterima oleh para pegawai negeri sipil, TNI-Polri dan pensiunan. Mulai tahun 2009 gaji naik 15%, selain itu juga diberikan gaji ke-13. dan pendapatan guru golongan terendah pada tahun 2009 akan meningkat menjadi di atas Rp 2 juta, Singgalang (16/8).
Ini menandakan bahwa pemerintah pun tidak tinggal diam terhadap perkembangan pendidikan di Indonesia . Hingga alokasi anggaran belanja pegawai sebesar Rp 143,8 triliun atau naik sekitar Rp 20,2 triliun.

Tidak hanya sebatas faktor materi pelajaran dan cara guru yang kurang menarik dalam menyampaikan materi pelajaran yang menyebabkan berkurangnya semangat belajar para siswa. Lingkungan antarteman pun besar pengaruhnya. Apa yang dikatakan guru tidak lagi menjadi satu-satunya ukuran meskipun guru itu disegani. Ajakan-ajakan dari teman itu lebih berpengaruh. Tidak sedikit para siswa yang melakukan perbuatan asusila, seperti halnya merokok, minuman keras, narkoba, hingga perbuatan mesum lainnya. Di televisi pun hampir setiap tayangan-tayangan kriminal menyajikan perbuatan-perbuatan mesum, dimulai dari rekaman melalui handpone hingga tersebar melalui internet. Semua itu tidak lepas dari interaksi antarteman.

Begitu banyak faktor-faktor yang menyebabkan berkurangnya semangat belajar para siswa dan perkembangan jiwa para remaja. Akan tetapi bagaimanapun keluarga dan sekolah masih tetap merupakan lingkungan primer dan sekunder artinya lingkungan pertama dan kedua yang berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian dalam dunia anak dan remaja (siswa). Lingkungan masyarakat bisa begitu kuat berpengaruh pada umumnya disebabkan karena lingkungan primer dan sekunderlah yang sudah menurunkan kadar pengaruhnya. Oleh karena itu, untuk dapat mengurangi sebanyak mungkin pengaruh yang negatif, maka lingkungan orang tua dan pendidik di sekolahlah yang harus meningkatkan kembali fungsi mereka sebagai pengendali lingkungan primer dan sekunder. Di Indonesia, kebutuhan untuk menghargai orang tua dan guru masih cukup besar. Tinggal bagaimana orang tua dan guru memanfaatkan kebutuhan para anak-anak itu. Untuk itu diperlukan motivasi yang kuat dari pihak orang tua dan guru sendiri. Orang tua dianjurkan untuk meluangkan waktu untuk berinteraksi atau berbicara langsung dengan guru baik dalam acara-acara yang sudah direncanakan (pengambilan rapor) maupun sifatnya yang lebih khusus. Karena itu akan membantu dalam mengatasi masalah-masalah yang terjadi dikalangan siswa. Dan itu membuktikan bahwa banyak masalah yang berhubungan dengan siswa, anak-anak ataupun para remaja bisa diselesaikan jika ada kerja sama yang baik antara guru dan orang tua. Namun sebaliknya, kenyataan dewasa ini sangat minim dengan hal yang demikian. Kita jarang melihat adanya interaksi secara langsung dan berkelanjutan antara orang tua dan guru. Kalau ada sebuah kesalahan yang dilakukan oleh salah seorang siswa barulah dipanggil orang tuanya. Itupun kalau sudah melakukan sebuah kesalahan yang besar. Coba seandainya dari pihak sekolah membuat sebuah program secara khusus terhadap pertemuan atau tatap muka secara langsung terhadap orang tua dan guru. Tentu itu sedikit banyak akan memperkecil dari masalah kurangnya motivasi belajar siswa dan masalah lain yang berkembang di tengah-tengah siswa selaku remaja yang masih menemukan jati dirinya.

1 komentar: